Kamis, 16 April 2015

SURAT BERHARGA

SURAT BERHARGA
A.    Pengertian Surat Berharga
Untuk istilah surat berharga ini, dalam bahasa Belanda disebut dengan “ Waarde Papier”, sedangkan dalam bahasa inggris di sebut dengan istilah “negotiable Instrument”.[1] Surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah uang. Tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, melainkan dengan menggunakan alat bayar lain. Alat bayar itu berupa surat yang didalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak ketiga, atau pernyataan sanggup, untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut.
Dengan diterbitkannya surat itu oleh penerbit, maka pemegangnya dio serahi hak untuk memperoleh pembayaran dengan jalan menunjukan dan menyerahkan surat itu kepada pihak ketiga atau ang menyanggupi itu. Dengan kata lain pemegang surat itu mempunyai hak tagih atas sejumlah uang yang tersebut didalamnya. Hak tagih itu kemudian dapat pula diperalihkan kepada pemegang berikutna dengan mudah atau sederhana, baik dengan cara penyerahan suratnya dari tangan ke tangan, maupun dengan cara membuat suatu pernyataan atau akta pada surat itu lalu suratnya diserahkan kepada pemegang berikutnya itu. Apabila seseorang menerima sepucuk surat wesel atau cek, ini berarti dia memperoleh hak tagih sejumlah uang yang tersebut didalam surat wesel atau cek itu, hak tagih mudah sekali dipindahtangankan kepada orang lain. Dengan kata lain cek itu dapat diperjualbelikan dengan mudah.
Bagi pemegang, surat itu merupakan bukti bahwa dialah sebagai orang yang berhak atas tagihan yang tersebut didalamnya. Apabila dia datang kepada pihak yang diperintahkan atau yang menyanggupi membayar seperti yang disebutkan dalam surat itu untuk memperoleh pembayaran, cukup dengan menunjukan dan menyerahkan suratnya saja tanpa ada formalitas lain.
Bagi pihak yang diperintahkan atau yang menyanggupi membayar, akan melakukan pembayaran tanpa ada kewajiban menyelidiki apakah pemegang itu adalah orang yang berhak sesungguhna atau tidak. Dalam ilmu hukum dagang surat bukti semacam itu disebut “ surat legitimasi”. Surat berharga adalah surat legitimasi.[2]
Secara yuridis, suatu surat berharga mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.      Sebagai alat pembayaran (alat tukar)
2.      Sebagai alat pemindahan hak tagih (karena dapat diperjualbelikan).
3.      Sebagai surat legitimasi (surat bukti hak tagih)
Jika dilihat dari segi fungsinya, dikenal tiga macam surat berharga, yaitu sebagai berikut:
1.      Surat yang bersifat hukum kebendaan contoh surat berharga golongan ini adalah konosemen (bill of Lading)
2.      Surat tanda keanggotaan dari suatu persekutuan. Contoh surat berharga golongan ini adalah surat saham.
3.      Surat tagihan utang. Contoh surat berharga golongan ini adalah wesel, cek, surat sanggup, dan lain-lain.
B.     Dasar Hukum yang Mengikat Antara Penerbit dan Pemegang Surat Berharga
Secara fisik, surat berharga hanyalah merupakan sepucuk surat, tetapi mengapakah begitu kuatnya mengikat secara hukum. Adapun yang merupakan causa yuridis sehingga suatu surat berharga mempunyai kekuatan mengikat tersimpul dalam empat teori:
1.      Teori kreasi (Creatietheorie)
Menurut teori ini, sebabnya surat berharga mengikat penerbitnya adalah karena tindakan penerbit menandatangani surat berharga tersebut. Karena penandatanganan tersebut penerbit terikat meskipun pihak pemegang surat berharga sudah beralih kepada pihak lain dari pemegang semula.
2.      Teori Kepatutan (Redelijkheidstheori)
Teori ini hampir sama dengan teori kreasi, tetapi dengan pembatasan tertentu. Menurut kepatutan ini penerbit surat terikat dan harus membayar surat berharga kepada siapapun pemegangnya. Akan tetapi jika pemegang surat tergolong tidak pantas, misal surat berharga itu diperoleh dengan cara mencurinya, mak penerbit surat berharga tersebut tidak terikat untuk membayar kepada orang tersebut.
3.      Teori perjanjian (overeenkomsttheori)
Menurut teori ini, sebabnya surat berharga mengikat penerbitnya adalah karena penerbit telah membuat suatu perjanjian dengan pihak pemegang surat berharga tersebut, yakni perjanjian untuk membayarnya, termasuk jika surat berharga tersebut dialihkan kepada pihak ketiga.
4.      Teori penunjukan ( Vertoningstheori)
Menurut teori ini, sebabnya surat berharga mengikat penerbitnya adalah karena pihak pemegang surat berharga tersebut telah menunjukan surat tersebut kepada penerbit untuk mendapatkan pembayarannya. Sebelum surat berharga tersebut ditunjukan kepada penerbit, menurut teori ini, keterikatan dari penerbit untuk membayar belum ada.[3]
C.    Upaya Tangkisan Pada Surat Berharga
Hal ini perlu dipersoalkan karena jika ternyata pad suatu saat ketika pemegang surat berharga itumemintakan pembayaran kepada debitur, ada kemungkinan debitur itu akan menolak atau menangkis pembayaran yang dimintakan kepadanya dengan bermacam–macam alasan, atau penerbit menolak pembayaran dengan alasan bahwa penerbit menghindarkan mebaar kedua kalinya kepada penjual ( pemegang pertama). Padahal pemegang terakhir ini tidak mengetahui bahwa kewajiban penerbit untuk membayar kepada pemegang itu sudah tidak ada lagi, dengan terjadinya penyerahan surat berharga kepada pemegang pertama.[4]
Jika masalah sampai terjadi tanpa pembatasan atau kepastian, maka penerbitan surat itu tidak akan memenuhi fungsi dan tujuan, karena orang tidak akan mau membeli atau menerima peralihan sebagai pemegang berikutnya, sebab khawatir tidak akan mendapatkan pemenuhan atas tagih tersebut dalam surat berharga itu. Karean itu pembentuk undang-undang mengatur tentang upaya tangkisan yang dapat dipergunakan oleh debitur atau penerbit terhadap pemegang surat berharga. Upaya tangkisan tersebiut dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      Upaya Tangkisan Absolut ( exception in Rem)
Upaya tangkisan ini dapat digunakan oleh debitur terhadap semua pemegang, baik pemegang pertama maupun berikutnya. Upaya tangkisan absolut timbul dari surat berharga itu sendiri yang dianggap diketahui oleh umum. Jadi melekat pada surta berharga itu. Hal itu atau keadaan yang timbul dari surat berharga itu ialah:
a.       Cacat Pada Bentuk Surat Berharga
Yang dimaksud dengan cacat bentuk pada surat berharga adalah cacat karena tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang, yaitu syarat-syarat formal surat wesel, surat sanggup dan surat cek. Syarat formal ini membawa pengaruh pada soal sah atau tidaknya surat berharga itu. Syarat formal diatur dalam pasal 100 KUHD untuk surat wesel, pasal 174 KUHD untuk surat sanggup, pasal 178 KUHD untuk surat cek. Termasuk cacat bentuk itu misalnya, tidak ada tandatangan penerbit, tidak ada tanggal penerbit, tandatangan palsu, ketidakcakapan penandatangan untuk melakukan perbuatan hukum, demikian juga paksaan badan dan sakit jiwa termasuk juga pada cacat bentuk.
b.      Lampau Waktu
Tangkisan absolut dapat juga dapat diguanakan terhadap lampau waktu. Hak untuk memperoleh pemabayaran suatu surat berharga telah ditentukan dalam tenggang waktu tertentu. Jika tenggang waktu yang ditentukan itu lampau, akibatnya hak untuk memperoleh pembayaran atas surat berharga itu menjadi lenyap. Jika pemegang menunjukan juga surat berharga itu untuk memperoleh pembayaran, debitur akan menolak dengan tangkisan lampau waktu.
c.       Kelainan Formalitas dalam Regres
Kelainan formalitas dalam regres dapat juga dijadikan alasan untuk menggunakan tangkisan absolut. Jika surat berharga itu mendapatkan penolakan aksepti atau penolakan pembayaran pada hari ditunjukan atau pada hari bayar, maka pemegang dapat melakukan hak regresnya guna memperoleh pembayaran kepada penerbit atau debtur-debitur lainnya. Untuk melakukan hak regres ini di perlukan suatu akta yang disebut “ akta non akseptasi” atau “akta protes non pembayaran”. Yang dibuat otentik sebagai alat bukti. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 143 ayat 1 KUHD, yang menyatakan bahwa penolakan akseptasi atau pembayaran harus dinyatakan dengan akta otentik. Dan apabila akta ini tidak ada, maka penerbit atau debitur surat berharga itu akan menolak pembayaran yang dimintakan oleh pemegang.
2.      Upaya Tangkisan Relatif (exception in Personam)
Upay tangkisan tidak dpat diketahui dari bentuk surat berharga itu, melainkan hanya dapat diketahui dari hubungan hukum yang terjadi antara penerbit dan salah seorang yang mendahului pemegang terakhir, khususnya pemegang pertama, Tangkisan relatif tidak boleh digunakan oleh debitur untuk menolak pembayaran terhadap pemegang surat berharga. Larangan menggunakan upaya tangkisan relatif ditentukan dalam pasal 109 dan 116 KUHD untuk surat wesel, dan pasal 199 KUHD untuk surat cek.[5]

D.    Surat Berharga di Luar KUHD
Walaupun dalam praktiknya timbul surat berharga yang belum diatur dalam KUHD tidaklah berarti bahwa ketentuan dalam pasal-pasal menegani surat berharga dalam KUHD tidak dapat diperlakuakn. Surat berharga yang timbul diluar KUHD tersebut tetap tunduk kepada-kepada ketentuan-ketentaun umum yang ada dalam KUHD yang berlaku bagi surat-surat berharga sepanjang tidak diatur tersendiri, sesuai dengan fungsinya dan tujuan penerbitan surat berharga itu.
Dikalangan pedagang atau pengusaha mencari jalan guna membatasi pembayaran dengan surat berharga yang dapat diuangkan. Artinya walaupun pembayaran dilakukan dengan surat berharga tidak perlu diuangkan. Sehingga kemungkina jatuh ke orang yang tidak berhak dapat dibatasi. Dilain pihak pemerintah juga dapat mengatur volume sirkulasi uang kartal di dalam masyarakat. Surat berharga ang dimaksud adalah bilyet giro. Penggunaan bilyet giro ini dalam lalu lintas pembayaran dengan surat berharga tidak kalah benyaknya jika dibandingkan dengan surat wesel dan cek. Maka bank Indonesia memandang perlu mengatur tentang penggunaan bilet giro dalam suatu peraturan.[6]
E.     Bentuk-Bentuk Surat Berharga
1.      Surat Wessel
a.       Pengertian Surat Wessel
Wessel berasal dari istilah Belanda “Wissel”, istilah yang sama dalam bahsa Inggris disebut bill of exchange sedangkan dalam bahasa Prancis adalah lettre de change.[7] Jadi wessel merupakan suatu syarat berharga bertanggal dan menyebutkan tempat penerbitannya, yang merupakan perintah tanpa syarat oleh penarik atau membayar kepada pihak pemegang tau yang ditunjuk oleh pihak pemegang tersebut (tertunjuk), pembayaran mana dilakukan oleh pihak pembayar (tertarik).[8] Wessel mulai digunakan sebagai alat pembayaran sejak abad pertengahan di Eropa barat sebagai pengganti uang tunai. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi wessel lebih tertuju kepada alat kredit. Adapun mengenai wessel di Indonesia diperkenalkan oleh para pedagang bangsa asing, sedangkan aturannya tercantum dalam Buku I Bab VI KUHD dan pasal 100 sampai dengan pasal 173.
b.      Syarat-Syarat Wessel
Surat wessel harus sesuai dengan persyaratan yang ditentukan pada pasal 100 KUHD yaitu bahwa wessel harus memenuhi syarat:
1)      Nama wessel disebut dalam teks warkat itu sendiri, dan istilahkan dalam bahasa yang digunakan untuk menulis warkat tersebut
2)      Perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3)      Nama pembayar/tertarik/betrokkene/drawee.
4)      Penetapan hari bayar
5)      Penetapan tempat dimana pembayaran harus dilakukan.
6)      Nama orang /pihak kep[ada siapa, atau pihak lain yang ditunjuk olehnya, pembayaran harus dilakukan/nemer.
7)      Tanggal, dan tempat wessel ditarik.
8)      Tanda tangan pihak yang mengeluarkan (penarik).
Syarat mutlak tersebut harus selalu tercantum dalam setiap surat wessel, sehinnga bila salah satu syarat tidak terpenuhi, wessel tersebut tidak berlaku, kecuali dalam hal-hal sebagi berikut yang termuat dalam pasal 101 KUHD menegnai ketentuan unsur-unsur ang tidak mutlak pada suatu wessel, yaitu:
1)      Suarat wessel yang tidak menetapkan hari bayarnya, dianggap harus dibayar pada hari diunjukannya (wessel unjuk).
2)      Dalam hal tidak adanya penetapan khusus, maka tempat yang tertulis disamping nama tertarik dianggap sebagai tempat pembayaran, dan tempat dimana tertarik berdomisili.
3)      Surat wessel yang tidak menerangkan tempat ditariknya, dapat dianggap ditandatangani ditempat yang tertulis disamping nama penarik.[9]
c.       Bentuk- Bentuk Surat Wessel
Surat wessel dilihat dari sudut kepentingan penerbitannya ya ng merupakan bentuk-bentuk surat wessel khusus, yaitu:
1)      Wessel Atas Pengganti Penerbit
Bentuk surat wessel atas penggati penerbit ( aan eigen order, to own order) dimungkinkan oleh pasal 102 ayat 1 KUHD yang menyatakan penerbit dapat menerbitkan surat wessel yang berbunyi atas pengganti penerbit. Kekhususan bentuk surat wessel ini adalah bahwa kedudukan penerbit sama dengan kedudukan pemegang pertama.
2)      Wessel Atas Penerbit Sendiri
Menurut ketentuan pasal 102 ayat 2 KUHD surat wessel dapat diterbitkan atas penerbit sendiri. Maksudnya penerbit memerintahkan kepada dirinya sendiri untuk membayarjadi penerbit menunjuk dirinya sendirinya sendiri sebagai pihak tersangkut.
3)      Wessel untuk Perhitungan Orang Ketiga
Bentuk surat ini dimungkinkan oleh pasal 102 ayat 3 KUHD yang menyatakan” surat wessel dapat diterbitkan untuk perhitungan orang ketiga (voor rekening van een derde, for account of a third party). Penerbiatan surat wessel dalam bentuk ini bisa terjadi jika seseorang ketiga itu untuk tagihannya yang memungkinkan diterbitkan surat wesssel. Dalam bentuk wessel semacam ini bank penerbit menjadi pihak yang dikuasai oleh hukum wessel, sedangkan pihak untuk rekening siapa surat wessel diterbitkan, berada diluar hubungan hukum wessel.

4)      Wessel Incasso
Wessel Incasso adalah bentuk wessel yang diterbitkan dengan tujuan untuk memberi kuasa kepada pemegang pertama menagih sejumlah uang, tidfak untuk diperjualbelikan. Kedudukan penerbit adalah sebagai pemberi kuasa, sedangkan kedudukan pemegang pertama sebagai pemegang kuasa untuk menagih uang. Wessel incasso dimungkinkan oleh pasal 102a ayat 1 KUHD, meneurut ketentuan pasal ini, jika dalam surat wessel itu penerbit telah memuatkan kata-kata “harga untuk ditagih”, atau “ dalam pemberian kuasa”, atau “untuk incasso”, atau lain-lain kata yang berarti memberi perintah untuk menagih semata-mata, maka pemegang pertama bisa melakukan semua hak ang timbul dari surat wessel itu, tetapi ia tidak bisa mengendosemenkan kepada orang lain, melainkan dengan cara pemberian kuasa.
5)      Wessel Berdomisili
Menurut ketentuan pasal 100 ayat 5 KUHD surat wessel harus memuat nama tempat dimana tersangkut harus melakukan pembayaran. Umumnya pembayaran itu dilakukan ditempat kediaman tersangkut. Tetapi ketentuan ini tidak selalu demikian, bisa juga pembayaran dilakukan ditempat lain hal ini menuut ketetntuan pasal 103 KUHD ada surat wessel ang harus dibayar ditempat seorang ketiga, baik ditempat tinggal tersangkut maupun ditempat lain.[10]

2.      Surat Cek
a.       Pengertian cek
Istilaah cek berasal dari kata Inggris “ cheque” yang berarti mencocokan, dalam pengartian itu juga meliputi melihat serta memperlihatkan. Cek adalah suatu perintah tanpa syarat dari nasabah kepada bank yang memelihara rekening giro nasabah tersebut untuk membayarkan sejumlah uang tertentu kepada pihak yang disebutkan didalamnya atau kepada pemegangnya. Rekening giro tersebut adalah sebagai tempat persediaan dana sesuai dengan yang disyaratkan ketentuan pasal 190 a dan pasal 190 b KUHD.[11]
Cek merupakan suatu surat berharga bertanggal dan menyebutkan tempat penerbitnya, yang merupakan perintah tanpa syarat oleh penarik (penerbit) untuk membayar kepada pihak pemegang atau pembawanya, pembayaran mana dilakukan oleh pihak pembayar, yaitu bank dari pihak penerbit/ penarik.[12]
Bank Indonesia melarangpenerbitan cek/ bilyet Giro dalam valuta asing (Surat Edaran Bank Indonesia Nomor  9/6/16/ UPBB tanggal 31 Mei 1976). Hal ini dimaksudkan untuk memelihara fungsi rupiah dalam masyarakat sebagai alat pembayaran, sesuai dengan ketentuan pasal 25 ayat (3) Undang- Undang Nomor 13 tahun 1968 Tenteng Bank Sentral, yaitu bahwa:“Tiap perbuatan yang mengenai uang atau mempunyai tujuan pembayaran ataupun tujuan kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang, jika dilakukan di Indonesia, kecuali jika dengan tegas diadakan ketentuan lain dengan peraturan perundangan.”
Dalam suatu surat cek harus minimal berisikan syarat-syarat formal sebagai  alat pembayaran giral, diatur dalam Pasal 178 KUHD, yaitu:[13]
1)      Kata-kata cek yang dimuat dalam teks dan dituliskan dalam bahasa yang dipakai untuk cek tersebut.
2)      Perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3)      Nama terrtarik (bank yang harus membayarnya)
4)      Tanggal pembayaran
5)      Penetapan tempat pembayaran.
6)      Tanggal dan tempat cek itu ditarik/ diterbitkan.
7)      Tandatangan penerbit cek (penarik)
b.      Personil dalam Hukum cek
Personil dalam hukum cek, yang terlibat dalam lalu lintas pembayaran dengan surat cek adalah sebagai berikut: 
1)      Penerbit (trekker, drawer) yaitu orang yangmengeluarkan surat cek.
2)      Tersangkut (betrokkenen, drawee) yaitu bankir yang diberi perintah tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3)      Pemegang (nemer, holder) yaitu orang yang diberi hak untuk memperoleh pembayaran yang namanya tercantuk dalam surat cek.
4)      Pembawa (toonder, bearer) yaitu orang yang ditunjuk untuk menerima pembayaran tanpa menyebutkan namanya dalam surat cek. Siapa yang membawa dan memperlihatkan surat cek itu kepada bankirnya,ia memperoleh pembayaran. Adanya pembawa ini sebagai akibat dari klausula atas tunjuk (aan tonder) yang berlaku bagi surat cek.
5)      Pengganti (order) yaitu orang yang menggantikan pemegang surat cek dengan jalan endosemen. Dalam hal ini surat cek diterbitkan dengan klausula atas pengganti dengan mencantumkan nama pemegang dalam surat cek.[14]
c.       Perbedaan cek dan wessel
Surat cek termasuk surat tagihan hutang yang berupa perintah untuk membayar sejumlah uang tertenttu. Jadi sama dengan surat wesel. Namun antara kedua macam surat berharga ini terdapat beberapa perbedaan pokok. Perbedaan ini disebabkan karena sifatnya yang berlainan, karena itu kedua macam surat berharga ini mendapat pengaturan yang berbeda dalam KUHD walaupun ada juga persamaannya. Berikut perbedaan dari kedua macam surat berharga tersebut:
1)      Fungsi ekonomis dalam lalu lintas pembayaran. Surat wesel menitikberatkan fungsi ekonomis sebagai alat pembayaran kredit, yaitu untuk memperoleh kredit. Sedangkan surat cek menitikberatkan fungsi ekonomis sebagai alat pembayaran tunai.  
2)      Waktu peredaran. Sebagai alat pembayaran kredit, surat wesel mempunyai waktu peredaran yang lama bisa melebihi satu tahun. sedangkan surat cek sebagai alat pembayaran tunai mempunyai waktu peredaran yang singkat yaitu 70 hari (pasal 206 ayat 1 KUHD).
3)      Waktu pembayaran
4)      Penerbitan atas banker
5)      Lembaga akseptasi
6)      Klausulayang berlainan
d.      Macam-macam cek:[15]
1)      Cek biasa
2)      Cek atas pengganti penerbit
3)      Cek atas penerbit sendiri
4)      Cek untuk perhitungan pihak ketiga
5)      Cek inkasso
6)      Cek berdomisili
7)      Cek silang cek untuk penghitungan
3.      Saham
a.       Pengertian Saham
Dalam bahsa Belanda, sham disebut dengan “andeel” sedangkan dalam bahasa Inggris disebuit dengan istilah  “share” atau “stock”.[16] Saham merupakan surat bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan yang melakukan penawaran umum (go public) dalam nominal atau presentase tertentu. Menurut Subagyo (1997) dalam bukunya Munir Fuady, saham merupakan tanda penyertaan modal pada suatu perseroan terbatas (PT). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Alma (1997), yang mendefinsikan saham sebagai surat keterangan tanda turut serta dalam perseroan. Para pemegang andil merupakan pemilik perusahaan yang bisa menikmati keuntungan perusahaan sebanding dengan modal yang disetorkannya. Selain dari deviden yang dapat diperoleh para pemegang saham nilai keuntungan yang merupakan selisih positif harga beli dan harga jual saham yang merupakan benefit selanjutnya yang dapat dinikmati oleh para pemegang saham. Selain manfaat yang bersifat finansial, para pemegang saham juga memiliki benefit yang bersifat nonfinansial, yaitu hak suara dalam aktivitas perusahaan.
Pada umumnya saham yang ditebitkan oleh sebuah perusahaan (emiten) yang melakukan penawaran umum (initial Publik Offering) ada dua macam yaitu saham biasa (common trock) dan saham istimewa (perfeck stock). Perbedaan saham ini berdasarkan pada hak yang melekat pada saham tersebut. Hak tersebut meliputi hak atas deviden, dan memperoleh bagian kekayaan jika perusahaan dilikuidasi setelah dikurangi semua kewajiban-kewajiban-kewajiban perusahaan.[17]
b.      Tipe macam Saham
Selain dari saham biasa dan istimewa, saham memiliki macam dan jenis yang cukup beragam, berikut adalah beberapa tipe macam saham:
1)      Sham yang dicap (assented shares), penyetempelan sham dapa terjadi dalam hal perseroan mengalami kerugian besar, yang tidak dihapuskan dari cadangan perseroan.
2)      Saham Tukar, yaitu jenis saham yang dapat ditukar oleh pemiliknya dengan jenis saham lain, biasanya saham preferen dengan saham biasa.
3)      Saham tanpa suara, yaitu saham yang pemiliknya tidak diberi suara pada RUPS (non voting stock).
4)      Saham tanpa pari, yaitu saham yang yang tidak memiliki nilai nominal atau pari, tetapi hak pemiliknya dapat diketahui dengan cara menjumlahkan seluruh kekayaan dan kemudian dibagi dengan jumlah saham yang dikeluarkan (no par stock)
5)      Saham preferen unggul, yaitu saham prefern yang hak prioritasnya lebih besar dari preferen lain.
6)      Saham preferen tukar, yaitu saham preferen yang dapat ditukar oleh pemiliknya dengan saham biasa.
7)      Saham preferen partisipasi, yaitu saham yang disampingkan hak prioritasnya masih dapat turut serta dalam pembagian deviden selanjutnya.
8)      Saham preferen kumulatif, yaitu saham preferen yang memberikan hak untuk mendapatkan deviden yang belum dibayarkan pada tahun-tahun yang lalu secara kumulatif.
9)      Saham pendiri, yaitu jasa yang diberikan oleh para pendiri persahaan, baik berupa penyertaan modal yang bersumberkan dari penarikan beberapa peserta lainnya atau dari relasi.
10)  Saham pegawai, yaitu kesempatan yang diberikan oleh perseroan kepada para pegawainya untuk memiliki saham perusahaan.
11)  Saham bonus, pada saat perbandingan antara cadangan dan modal saham yang tidak berimbang pada suatu perseroan dapat dihilangkan dengan jalan memberikan saham bonus kepada para pemegang saham dengan Cuma-Cuma.[18]


4.      Surat Obligasi
a.       Pengertian Obligasi
Salah satu bentuk instrumen investasi pada pasar modal adalah obligasi. Obligasi berasal dari Bahasa Belanda yaitu “obligatie” yang dalam Bahasa Indonesia disebut dengan “obligasi” yang berarti kontrak. Dalam Keputusan Presiden RI Nomor 775/KMK001/1982 disebutkan bahwa obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang atas pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan menjajikan imbalan berupa bunga yang jumlah serta saat pembayarannya telah ditentukan terlebih dahulu oleh emiten (Badan Pelaksana Pasar Modal).[19]
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa obligasi adalah suatu surat berharga jangka panjang yang bersifat hutang yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo kepada pemegang obligasi.[20]
Obligasi merupakan surat pengakuan utang atas pinjaman yang diterima oleh perusahaan penerbit obligasi dari masyarakat yang akan dibayar pada waktu jatuh tempo sebesar nilai nominalnya. Jangka waktu obligasi telah ditetapkan dan disertai dengan pemberian imbalan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya juga telah ditetapkan dalam perjanjian.
b.      Jenis dan Perangkat Obligasi
Heru Sudarsono membagi jenis dan peringkat obligasi yang dikenal di pasar modal Indonesia, sebagai berikut[21]:
1)      Berdasarkan Penerbitan:
a)      Obligasi Pemerintah Pusat.
b)      Obligasi Pemerintah Daerah.
c)      Obligasi Badan Usaha Milik Usaha.
d)     Obligasi Perusahaan Swasta.
2)      Berdasarkan Jaminan:
a)      Unsecured bonds/debentures atau obligasi tanpa jaminan.
b)      Indenture atau obligasi dengan jaminan.
c)      Mortgage bond atau obligasi yang dijamin dengan property.
d)     Collateral trust atau obligasi yang dijamin dengan sekuritas.
e)      Equipment trust certificates atau obligasi yang dijamin asset tertentu.
f)       Collateralized mortgage atau obligasi yang dijamin pool of mortgages atau portofolio mortgage-backed securities.
3)      Berdasarkan Jenis Kupon:
a)      Fixed rate, obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap sejak diterbitkan hingga jatuh tempo.
b)      Floating rate, obligasi yang tingkat bunganya mengikuti tingkat kupon yang berlaku di pasar.
c)      Mixed rate, obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap untuk periode tertentu.
4)      Berdasarkan Peringkatnya
a)      Investment grade bonds, minimal BB+.
b)      Non-Investment-grade bonds, CC atau speculative bond dan D atau junk bond.
5)      Berdasarkan Kupon:
a)      Coupon bonds, pada obligasi berkupon.
b)      Zero Coupon bonds, untuk obligasi nirkupon.
6)      Berdasarkan Call Feature:
a)      Freeely callable bond, obligasi yang dapat ditarik kembali oleh penerbitnya setiap waktu sebelum jatuh tempo.
b)      Non-callable bond, setelah obligasi diterbitkan dan terjual, tidak dapat dibeli/ditarik kembali oleh penerbitnya sebelum obligasi tersebut jatuh tempo.  
c)      Deffered callable bond, adalah kombinasi antara Freeely callable bond dan non-callable bond.
7)      Berdasarkan Konversi:
a)      Convertible bond, obligasi yang dapat ditukarkan saham setelah jangka waktu tertentu.
b)      Non-Convertible bond, obligasi yang tidak dapat dikonversi menjadi saham.
8)      Jenis obligasi lainnya:
a)      Income bond, obligasi yang membayarkan kupon jika emiten penerbitnya mendapatkan laba.
b)      Guaranteed bond, obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan cabang tetapi tidak didukung oleh perusahaan induk.
c)      Participating bond, obligasi yang memiliki hak menerima atas laba selain penghasilan bunga secara periodic.
d)     Voting bond, obligasi yang mempunyai hak suara.
e)      Serial bond, obligasi yang pelunasannya berdasarkan nomor seri.
f)       Inflation index bond atau disebut juga treasury inflation protection securities (TIPS), obligasi yang nilai nominalnya (principal) selalu disesuaikan dengan tingkat inflasi yang berlaku.      


5.      Surat sanggup
a.       Pengertian Surat Sanggup
Dalam Undang-Undang surat sanggup dikenal dengan istilah promesse aan oder.  Surat sanggup juga disebut dengan surat aksep. Kata aksep berasal dari Perancis “accept” yang artinya setuju. Kata sanggup atau setuju mengandung suatu janji untuk membayar yaitu kesediaan dari pihak penanda tangan untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang atau penggantinya pada waktu tertentu. Jadi surat sanggup atau surat aksep adalah surat tanda sanggup atau setuju membayar sejumlah uang kepada pemegang atau penggantinya pada waktu tertentu.[22]
Terhadap surat sanggup ini sering juga disebut dengan surat aksep. Tentang surat sanggup jug ada diatur dalam kitap undang-undang hukum dagang dan berbagai perundang-undangan lainnya. Yang dimaksud dengan surat sanggup adalah suatu surat berharga, bertanggal, dan menyebutkan tempat penerbitannya, yang merupakan kesanggupan taanpa sayarat oleh penerbit untuk membayar (pengakuan utang) kepada pihak pemegang atau pembawanya. Pembayaran mana dilakukan pada waktu tertentu oleh pihak penerbit itu sendiri. Kepada surat sanggup berlaku persyaratan formal sebagai berikut:[23]
1)      Kata-kata surat sanggup yang dimuat dalam teks dan dituliskan dalam bahasa yang dipakai untuk wesel tersebut.
2)      Perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3)      Tanggal pembayaran
4)      Penetapan tempat pembayaran
5)      Tanggal dan tempat surat sanggup itu ditarik/ diterbitkan.
6)      Tandatangan penerbit surat aksep
7)      Nama orang yang kepadanya atau kepada orang lain yang ditunjuk olehnya, pembayaran harus dilakukan.
Konsekuaensi hukum apabila suatu surat sanggup tidak memenuhi salah satu dari persyaratan formil tersebut adalah sebagai berikut:[24]
1)      Jika dalam suatu surat sanggup tidak ditulis tempat dimana surat itu harus dibayar, maka surat sanggup tersebut harus dibayar di tempat yang ditulis di samping tandatangannya (disamping nama penerbit) atau di tempat domisilinya penandatanganan (penerbit) tersebut.
2)      Jika dalam surat sanggup tidak ditulis tempat dimana surat sanggup itu diterbitkan maka surat sanggup itu dianggap ditandatangani di tempat yang ditulis disamping nama penerbit.
6.      Bilyet giro
a.       Pengertian Bilyet Giro
Yang dimaksud dengan bilyet giro  adalah suatu perintah tanpa syarat dari penerbitnya untuk memindahbukukan sejumlah uang yang ada pada bank dimana penerbit memiliki rekening giro dan dan dana dalam jumlah yang cukup, dana tersebut dipindah bukukan/ditranfer ke rekening milik pihak yang namanya tersebut dalam giro tersebut.[25]
Menurut ketentuan pasal 1butir d Surat Keputusan Direksii  Bank Indonesia No. 28/32/Kep/Dir Tahun 1995 tentang Bilyet Giro ( Untuk memudahkan penyebutan selanjutnya disingkat SKBG), Bilyet Giro adalah surat perintah dari nasabah kepada bank penyimpan dana untuk memindahbukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada rekening pemegang yang disebutkan namanya.[26]
Bilyet giro dengan cek memiliki persamaan sebagai alat pembayaran, tetapi bilyet giro merupakan alat pembayaran dengan cara melakukan mutasi rekening, sedangkan cek merupakan alat pembayaran yang dilakukan secara langsung.[27]
Pihak-pihak yang terlibat dalam buly giro adalah sebagai berikut:[28]
1)      Penarik. Yakni pihak yang mempunyai rekening pada bank, yang menerbitkan/ menandatangani bilyet giro, yang berarti dialah yang memberitahkan kepada bank untuk melakukan pemindahbukuan..
2)      Bank penyimpan dana/tertarik.yakni bank dimana terdapat rekening giro dari penerbit bilyet giro.
3)      Bank penerima. Yakni bank dimana terdapat rekening pembawa, sehingga kedalam rekening tersebutlah dana ditranfer.
4)      Pemegang. Yakni pihak yang memegang Bilyet Giro yng namanya tercantum dalam Bilyet Giro tersebut.






DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 2008. Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung: Citra Aditya Bakti.
___________. 2008. Hukum Perusahaan dalam Paradigama Hukum Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Huda, Nurul & Edwi Nasution, Mustafa. 2008. Investasi pada Pasar Modal Syariah, Ed.R, Cet.ke-2.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Jumhan, Muhamad. 2003. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung: Citra Aditiya Bakti.
Widijowati, Dijan. 2012. Hukum Dagang. Yogyakarta: ANDI
­­­­­Anshori, Abdul Ghofur. 2008. Penerepan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad, Abdul kadir. 2003. Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
_________. 2014. Kitab Undang- Undang Hukum Dagang. Yogyakarta: Pustaka Mahardika.



[1] Munir Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata Bisnis Modern di Era Global, cet. Ke-III (Bandung: PT. CITRA ADITYA BAKT,2008), hal.163
[2] Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga, cet. Ke-VI (Bandung: PT.CITRA ADITYA BAKTI, 2003), hal.5
[3] Munir Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata Bisnis Modern di Era Global, hal.164-165
[4]Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga, cet. Ke-VI, hal. 29
[5] Ibid., hal.30-33.
[6] Ibid., hal.42-43.
[7] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, cet. Ke-IV (Bandung: PT. CITRA ADITYA BAKTI), hal. 144.
[8] Munir Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata Bisnis Modern di Era Global, hal.165
[9] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, cet. Ke-IV, hal. 144-145
[10]Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga, cet. Ke-VI, hal. 62-72
[11] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, cet. Ke-IV, hal.  144-148.
[12]Munir Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata Bisnis Modern di Era Global, hal. 174.
[13] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, cet. Ke-IV, hal.  144-149.
[14] Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga, cet. Ke-VI, hal. 172.
[15] Munir Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata Bisnis Modern di Era Global, hal. 177-178.
[16] Munir Fuady, Hukum Perusahaan:Paradigma Hukum Bisnis, cet. Ke-III (Bandung: PT.CTRA ADITYA BAKTI, 2008), hal.37
[17] Nurul Huda& Mustafa Edwi Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, Ed.R, Cet.ke-2 (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,2008), hal.60-61
[18] Ibid., hal. 62-63
[19] Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilam Agama (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 325.
[20] Abdul Ghofur Anshori, Penerepan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 105.
[21] Abdul Manan , Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana 2012), hal. 327-329. Dalam Heru Sudarsono, , Bank dan Lembaga Keuangan Syariah ( Yogyakarta: Ekonosia-FH UII, 2007), hal. 223-224.
[22] Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga, cet. Ke-VI, hal. 155.
[23] Ibid., hlm. 180-181.
[24] Ibid., hlm. 176.
[25] Ibid., hlm. 181.
[26] Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga, cet. Ke-VI, hal. 224.
[27] Dijan Widijowati, Hukum Dagang (ANDI Yogyakarta, 2012), hal. 163
[28] Munir Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata Bisnis Modern di Era Global, hal.182.