SURAT
BERHARGA
A.
Pengertian
Surat Berharga
Untuk istilah
surat berharga ini, dalam bahasa Belanda disebut dengan “ Waarde Papier”, sedangkan dalam bahasa inggris di sebut dengan
istilah “negotiable Instrument”.[1]
Surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan
sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah
uang. Tetapi pembayaran itu tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang,
melainkan dengan menggunakan alat bayar lain. Alat bayar itu berupa surat yang
didalamnya mengandung suatu perintah kepada pihak ketiga, atau pernyataan
sanggup, untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut.
Dengan
diterbitkannya surat itu oleh penerbit, maka pemegangnya dio serahi hak untuk
memperoleh pembayaran dengan jalan menunjukan dan menyerahkan surat itu kepada
pihak ketiga atau ang menyanggupi itu. Dengan kata lain pemegang surat itu
mempunyai hak tagih atas sejumlah uang yang tersebut didalamnya. Hak tagih itu
kemudian dapat pula diperalihkan kepada pemegang berikutna dengan mudah atau
sederhana, baik dengan cara penyerahan suratnya dari tangan ke tangan, maupun
dengan cara membuat suatu pernyataan atau akta pada surat itu lalu suratnya diserahkan
kepada pemegang berikutnya itu. Apabila seseorang menerima sepucuk surat wesel
atau cek, ini berarti dia memperoleh hak tagih sejumlah uang yang tersebut
didalam surat wesel atau cek itu, hak tagih mudah sekali dipindahtangankan
kepada orang lain. Dengan kata lain cek itu dapat diperjualbelikan dengan
mudah.
Bagi pemegang,
surat itu merupakan bukti bahwa dialah sebagai orang yang berhak atas tagihan
yang tersebut didalamnya. Apabila dia datang kepada pihak yang diperintahkan
atau yang menyanggupi membayar seperti yang disebutkan dalam surat itu untuk
memperoleh pembayaran, cukup dengan menunjukan dan menyerahkan suratnya saja
tanpa ada formalitas lain.
Bagi pihak yang
diperintahkan atau yang menyanggupi membayar, akan melakukan pembayaran tanpa
ada kewajiban menyelidiki apakah pemegang itu adalah orang yang berhak
sesungguhna atau tidak. Dalam ilmu hukum dagang surat bukti semacam itu disebut
“ surat legitimasi”. Surat berharga adalah surat legitimasi.[2]
Secara yuridis, suatu surat
berharga mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Sebagai
alat pembayaran (alat tukar)
2. Sebagai
alat pemindahan hak tagih (karena dapat diperjualbelikan).
3. Sebagai
surat legitimasi (surat bukti hak tagih)
Jika dilihat
dari segi fungsinya, dikenal tiga macam surat berharga, yaitu sebagai berikut:
1. Surat
yang bersifat hukum kebendaan contoh surat berharga golongan ini adalah
konosemen (bill of Lading)
2. Surat
tanda keanggotaan dari suatu persekutuan. Contoh surat berharga golongan ini
adalah surat saham.
3. Surat
tagihan utang. Contoh surat berharga golongan ini adalah wesel, cek, surat
sanggup, dan lain-lain.
B.
Dasar
Hukum yang Mengikat Antara Penerbit dan Pemegang Surat Berharga
Secara fisik,
surat berharga hanyalah merupakan sepucuk surat, tetapi mengapakah begitu
kuatnya mengikat secara hukum. Adapun yang merupakan causa yuridis sehingga
suatu surat berharga mempunyai kekuatan mengikat tersimpul dalam empat teori:
1. Teori
kreasi (Creatietheorie)
Menurut teori ini, sebabnya surat
berharga mengikat penerbitnya adalah karena tindakan penerbit menandatangani
surat berharga tersebut. Karena penandatanganan tersebut penerbit terikat
meskipun pihak pemegang surat berharga sudah beralih kepada pihak lain dari
pemegang semula.
2. Teori
Kepatutan (Redelijkheidstheori)
Teori ini hampir sama dengan teori kreasi,
tetapi dengan pembatasan tertentu. Menurut kepatutan ini penerbit surat terikat
dan harus membayar surat berharga kepada siapapun pemegangnya. Akan tetapi jika
pemegang surat tergolong tidak pantas, misal surat berharga itu diperoleh
dengan cara mencurinya, mak penerbit surat berharga tersebut tidak terikat
untuk membayar kepada orang tersebut.
3. Teori
perjanjian (overeenkomsttheori)
Menurut teori ini, sebabnya surat
berharga mengikat penerbitnya adalah karena penerbit telah membuat suatu
perjanjian dengan pihak pemegang surat berharga tersebut, yakni perjanjian
untuk membayarnya, termasuk jika surat berharga tersebut dialihkan kepada pihak
ketiga.
4. Teori
penunjukan ( Vertoningstheori)
Menurut teori ini, sebabnya surat
berharga mengikat penerbitnya adalah karena pihak pemegang surat berharga
tersebut telah menunjukan surat tersebut kepada penerbit untuk mendapatkan
pembayarannya. Sebelum surat berharga tersebut ditunjukan kepada penerbit,
menurut teori ini, keterikatan dari penerbit untuk membayar belum ada.[3]
C.
Upaya
Tangkisan Pada Surat Berharga
Hal ini perlu
dipersoalkan karena jika ternyata pad suatu saat ketika pemegang surat berharga
itumemintakan pembayaran kepada debitur, ada kemungkinan debitur itu akan
menolak atau menangkis pembayaran yang dimintakan kepadanya dengan
bermacam–macam alasan, atau penerbit menolak pembayaran dengan alasan bahwa
penerbit menghindarkan mebaar kedua kalinya kepada penjual ( pemegang pertama).
Padahal pemegang terakhir ini tidak mengetahui bahwa kewajiban penerbit untuk
membayar kepada pemegang itu sudah tidak ada lagi, dengan terjadinya penyerahan
surat berharga kepada pemegang pertama.[4]
Jika masalah
sampai terjadi tanpa pembatasan atau kepastian, maka penerbitan surat itu tidak
akan memenuhi fungsi dan tujuan, karena orang tidak akan mau membeli atau
menerima peralihan sebagai pemegang berikutnya, sebab khawatir tidak akan
mendapatkan pemenuhan atas tagih tersebut dalam surat berharga itu. Karean itu
pembentuk undang-undang mengatur tentang upaya tangkisan yang dapat dipergunakan
oleh debitur atau penerbit terhadap pemegang surat berharga. Upaya tangkisan
tersebiut dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.
Upaya Tangkisan Absolut ( exception in Rem)
Upaya
tangkisan ini dapat digunakan oleh debitur terhadap semua pemegang, baik
pemegang pertama maupun berikutnya. Upaya tangkisan absolut timbul dari surat
berharga itu sendiri yang dianggap diketahui oleh umum. Jadi melekat pada surta
berharga itu. Hal itu atau keadaan yang timbul dari surat berharga itu ialah:
a. Cacat
Pada Bentuk Surat Berharga
Yang dimaksud dengan cacat bentuk
pada surat berharga adalah cacat karena tidak memenuhi ketentuan yang telah
ditetapkan oleh undang-undang, yaitu syarat-syarat formal surat wesel, surat
sanggup dan surat cek. Syarat formal ini membawa pengaruh pada soal sah atau
tidaknya surat berharga itu. Syarat formal diatur dalam pasal 100 KUHD untuk
surat wesel, pasal 174 KUHD untuk surat sanggup, pasal 178 KUHD untuk surat
cek. Termasuk cacat bentuk itu misalnya, tidak ada tandatangan penerbit, tidak
ada tanggal penerbit, tandatangan palsu, ketidakcakapan penandatangan untuk
melakukan perbuatan hukum, demikian juga paksaan badan dan sakit jiwa termasuk
juga pada cacat bentuk.
b. Lampau
Waktu
Tangkisan absolut dapat juga dapat
diguanakan terhadap lampau waktu. Hak untuk memperoleh pemabayaran suatu surat
berharga telah ditentukan dalam tenggang waktu tertentu. Jika tenggang waktu
yang ditentukan itu lampau, akibatnya hak untuk memperoleh pembayaran atas
surat berharga itu menjadi lenyap. Jika pemegang menunjukan juga surat berharga
itu untuk memperoleh pembayaran, debitur akan menolak dengan tangkisan lampau
waktu.
c. Kelainan
Formalitas dalam Regres
Kelainan formalitas dalam regres
dapat juga dijadikan alasan untuk menggunakan tangkisan absolut. Jika surat
berharga itu mendapatkan penolakan aksepti atau penolakan pembayaran pada hari
ditunjukan atau pada hari bayar, maka pemegang dapat melakukan hak regresnya
guna memperoleh pembayaran kepada penerbit atau debtur-debitur lainnya. Untuk
melakukan hak regres ini di perlukan suatu akta yang disebut “ akta non
akseptasi” atau “akta protes non pembayaran”. Yang dibuat otentik sebagai alat
bukti. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 143 ayat 1 KUHD, yang menyatakan bahwa
penolakan akseptasi atau pembayaran harus dinyatakan dengan akta otentik. Dan
apabila akta ini tidak ada, maka penerbit atau debitur surat berharga itu akan
menolak pembayaran yang dimintakan oleh pemegang.
2.
Upaya Tangkisan Relatif (exception in Personam)
Upay
tangkisan tidak dpat diketahui dari bentuk surat berharga itu, melainkan hanya
dapat diketahui dari hubungan hukum yang terjadi antara penerbit dan salah
seorang yang mendahului pemegang terakhir, khususnya pemegang pertama, Tangkisan
relatif tidak boleh digunakan oleh debitur untuk menolak pembayaran terhadap
pemegang surat berharga. Larangan menggunakan upaya tangkisan relatif
ditentukan dalam pasal 109 dan 116 KUHD untuk surat wesel, dan pasal 199 KUHD
untuk surat cek.[5]
D.
Surat
Berharga di Luar KUHD
Walaupun dalam
praktiknya timbul surat berharga yang belum diatur dalam KUHD tidaklah berarti
bahwa ketentuan dalam pasal-pasal menegani surat berharga dalam KUHD tidak
dapat diperlakuakn. Surat berharga yang timbul diluar KUHD tersebut tetap
tunduk kepada-kepada ketentuan-ketentaun umum yang ada dalam KUHD yang berlaku
bagi surat-surat berharga sepanjang tidak diatur tersendiri, sesuai dengan
fungsinya dan tujuan penerbitan surat berharga itu.
Dikalangan
pedagang atau pengusaha mencari jalan guna membatasi pembayaran dengan surat
berharga yang dapat diuangkan. Artinya walaupun pembayaran dilakukan dengan
surat berharga tidak perlu diuangkan. Sehingga kemungkina jatuh ke orang yang
tidak berhak dapat dibatasi. Dilain pihak pemerintah juga dapat mengatur volume
sirkulasi uang kartal di dalam masyarakat. Surat berharga ang dimaksud adalah
bilyet giro. Penggunaan bilyet giro ini dalam lalu lintas pembayaran dengan
surat berharga tidak kalah benyaknya jika dibandingkan dengan surat wesel dan cek.
Maka bank Indonesia memandang perlu mengatur tentang penggunaan bilet giro
dalam suatu peraturan.[6]
E.
Bentuk-Bentuk
Surat Berharga
1. Surat
Wessel
a. Pengertian
Surat Wessel
Wessel berasal
dari istilah Belanda “Wissel”,
istilah yang sama dalam bahsa Inggris disebut bill of exchange sedangkan dalam bahasa Prancis adalah lettre de change.[7]
Jadi wessel merupakan suatu syarat berharga bertanggal dan menyebutkan tempat
penerbitannya, yang merupakan perintah tanpa syarat oleh penarik atau membayar
kepada pihak pemegang tau yang ditunjuk oleh pihak pemegang tersebut
(tertunjuk), pembayaran mana dilakukan oleh pihak pembayar (tertarik).[8]
Wessel mulai digunakan sebagai alat pembayaran sejak abad pertengahan di Eropa
barat sebagai pengganti uang tunai. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi
wessel lebih tertuju kepada alat kredit. Adapun mengenai wessel di Indonesia
diperkenalkan oleh para pedagang bangsa asing, sedangkan aturannya tercantum
dalam Buku I Bab VI KUHD dan pasal 100 sampai dengan pasal 173.
b. Syarat-Syarat
Wessel
Surat wessel
harus sesuai dengan persyaratan yang ditentukan pada pasal 100 KUHD yaitu bahwa
wessel harus memenuhi syarat:
1)
Nama wessel disebut dalam teks warkat
itu sendiri, dan istilahkan dalam bahasa yang digunakan untuk menulis warkat
tersebut
2)
Perintah tidak bersyarat untuk membayar
sejumlah uang tertentu.
3)
Nama
pembayar/tertarik/betrokkene/drawee.
4)
Penetapan hari bayar
5)
Penetapan tempat dimana pembayaran harus
dilakukan.
6)
Nama orang /pihak kep[ada siapa, atau
pihak lain yang ditunjuk olehnya, pembayaran harus dilakukan/nemer.
7)
Tanggal, dan tempat wessel ditarik.
8)
Tanda tangan pihak yang mengeluarkan
(penarik).
Syarat mutlak
tersebut harus selalu tercantum dalam setiap surat wessel, sehinnga bila salah
satu syarat tidak terpenuhi, wessel tersebut tidak berlaku, kecuali dalam
hal-hal sebagi berikut yang termuat dalam pasal 101 KUHD menegnai ketentuan
unsur-unsur ang tidak mutlak pada suatu wessel, yaitu:
1) Suarat
wessel yang tidak menetapkan hari bayarnya, dianggap harus dibayar pada hari
diunjukannya (wessel unjuk).
2) Dalam
hal tidak adanya penetapan khusus, maka tempat yang tertulis disamping nama
tertarik dianggap sebagai tempat pembayaran, dan tempat dimana tertarik
berdomisili.
3) Surat
wessel yang tidak menerangkan tempat ditariknya, dapat dianggap ditandatangani
ditempat yang tertulis disamping nama penarik.[9]
c. Bentuk-
Bentuk Surat Wessel
Surat wessel
dilihat dari sudut kepentingan penerbitannya ya ng merupakan bentuk-bentuk
surat wessel khusus, yaitu:
1) Wessel
Atas Pengganti Penerbit
Bentuk surat wessel atas penggati
penerbit ( aan eigen order, to own order) dimungkinkan oleh pasal 102 ayat 1
KUHD yang menyatakan penerbit dapat menerbitkan surat wessel yang berbunyi atas
pengganti penerbit. Kekhususan bentuk surat wessel ini adalah bahwa kedudukan
penerbit sama dengan kedudukan pemegang pertama.
2) Wessel
Atas Penerbit Sendiri
Menurut ketentuan pasal 102 ayat 2
KUHD surat wessel dapat diterbitkan atas penerbit sendiri. Maksudnya penerbit
memerintahkan kepada dirinya sendiri untuk membayarjadi penerbit menunjuk
dirinya sendirinya sendiri sebagai pihak tersangkut.
3) Wessel
untuk Perhitungan Orang Ketiga
Bentuk surat ini dimungkinkan oleh
pasal 102 ayat 3 KUHD yang menyatakan” surat wessel dapat diterbitkan untuk
perhitungan orang ketiga (voor rekening van een derde, for account of a third
party). Penerbiatan surat wessel dalam bentuk ini bisa terjadi jika seseorang
ketiga itu untuk tagihannya yang memungkinkan diterbitkan surat wesssel. Dalam
bentuk wessel semacam ini bank penerbit menjadi pihak yang dikuasai oleh hukum
wessel, sedangkan pihak untuk rekening siapa surat wessel diterbitkan, berada
diluar hubungan hukum wessel.
4) Wessel
Incasso
Wessel Incasso adalah bentuk wessel
yang diterbitkan dengan tujuan untuk memberi kuasa kepada pemegang pertama
menagih sejumlah uang, tidfak untuk diperjualbelikan. Kedudukan penerbit adalah
sebagai pemberi kuasa, sedangkan kedudukan pemegang pertama sebagai pemegang
kuasa untuk menagih uang. Wessel incasso dimungkinkan oleh pasal 102a ayat 1 KUHD,
meneurut ketentuan pasal ini, jika dalam surat wessel itu penerbit telah
memuatkan kata-kata “harga untuk ditagih”, atau “ dalam pemberian kuasa”, atau
“untuk incasso”, atau lain-lain kata yang berarti memberi perintah untuk
menagih semata-mata, maka pemegang pertama bisa melakukan semua hak ang timbul
dari surat wessel itu, tetapi ia tidak bisa mengendosemenkan kepada orang lain,
melainkan dengan cara pemberian kuasa.
5) Wessel
Berdomisili
Menurut ketentuan pasal 100 ayat 5
KUHD surat wessel harus memuat nama tempat dimana tersangkut harus melakukan
pembayaran. Umumnya pembayaran itu dilakukan ditempat kediaman tersangkut.
Tetapi ketentuan ini tidak selalu demikian, bisa juga pembayaran dilakukan
ditempat lain hal ini menuut ketetntuan pasal 103 KUHD ada surat wessel ang
harus dibayar ditempat seorang ketiga, baik ditempat tinggal tersangkut maupun
ditempat lain.[10]
2.
Surat Cek
a.
Pengertian cek
Istilaah
cek berasal dari kata Inggris “ cheque” yang berarti mencocokan, dalam
pengartian itu juga meliputi melihat serta memperlihatkan. Cek adalah suatu
perintah tanpa syarat dari nasabah kepada bank yang memelihara rekening giro
nasabah tersebut untuk membayarkan sejumlah uang tertentu kepada pihak yang
disebutkan didalamnya atau kepada pemegangnya. Rekening giro tersebut adalah
sebagai tempat persediaan dana sesuai dengan yang disyaratkan ketentuan pasal
190 a dan pasal 190 b KUHD.[11]
Cek
merupakan suatu surat berharga bertanggal dan menyebutkan tempat penerbitnya,
yang merupakan perintah tanpa syarat oleh penarik (penerbit) untuk membayar
kepada pihak pemegang atau pembawanya, pembayaran mana dilakukan oleh pihak
pembayar, yaitu bank dari pihak penerbit/ penarik.[12]
Bank
Indonesia melarangpenerbitan cek/ bilyet Giro dalam valuta asing (Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 9/6/16/ UPBB
tanggal 31 Mei 1976). Hal ini dimaksudkan untuk memelihara fungsi rupiah dalam
masyarakat sebagai alat pembayaran, sesuai dengan ketentuan pasal 25 ayat (3)
Undang- Undang Nomor 13 tahun 1968 Tenteng Bank Sentral, yaitu bahwa:“Tiap
perbuatan yang mengenai uang atau mempunyai tujuan pembayaran ataupun tujuan
kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang, jika dilakukan di Indonesia, kecuali
jika dengan tegas diadakan ketentuan lain dengan peraturan perundangan.”
Dalam
suatu surat cek harus minimal berisikan syarat-syarat formal sebagai alat pembayaran giral, diatur dalam Pasal 178
KUHD, yaitu:[13]
1)
Kata-kata cek
yang dimuat dalam teks dan dituliskan dalam bahasa yang dipakai untuk cek
tersebut.
2)
Perintah tidak
bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3)
Nama terrtarik
(bank yang harus membayarnya)
4)
Tanggal
pembayaran
5)
Penetapan
tempat pembayaran.
6)
Tanggal dan
tempat cek itu ditarik/ diterbitkan.
7)
Tandatangan
penerbit cek (penarik)
b. Personil
dalam Hukum cek
Personil dalam hukum cek,
yang terlibat dalam lalu lintas pembayaran dengan surat cek adalah sebagai
berikut:
1)
Penerbit (trekker,
drawer) yaitu orang yangmengeluarkan surat cek.
2)
Tersangkut (betrokkenen,
drawee) yaitu bankir yang diberi perintah tanpa syarat untuk membayar
sejumlah uang tertentu.
3)
Pemegang (nemer,
holder) yaitu orang yang diberi hak untuk memperoleh pembayaran yang
namanya tercantuk dalam surat cek.
4)
Pembawa (toonder,
bearer) yaitu orang yang ditunjuk untuk menerima pembayaran tanpa
menyebutkan namanya dalam surat cek. Siapa yang membawa dan memperlihatkan
surat cek itu kepada bankirnya,ia memperoleh pembayaran. Adanya pembawa ini
sebagai akibat dari klausula atas tunjuk (aan
tonder) yang berlaku bagi surat cek.
5)
Pengganti (order)
yaitu orang yang menggantikan pemegang surat cek dengan jalan endosemen. Dalam
hal ini surat cek diterbitkan dengan klausula atas pengganti dengan
mencantumkan nama pemegang dalam surat cek.[14]
c. Perbedaan
cek dan wessel
Surat cek
termasuk surat tagihan hutang yang berupa perintah untuk membayar sejumlah uang
tertenttu. Jadi sama dengan surat wesel. Namun antara kedua macam surat
berharga ini terdapat beberapa perbedaan pokok. Perbedaan ini disebabkan karena
sifatnya yang berlainan, karena itu kedua macam surat berharga ini mendapat
pengaturan yang berbeda dalam KUHD walaupun ada juga persamaannya. Berikut
perbedaan dari kedua macam surat berharga tersebut:
1) Fungsi ekonomis dalam lalu lintas pembayaran. Surat
wesel menitikberatkan fungsi ekonomis sebagai alat pembayaran kredit, yaitu
untuk memperoleh kredit. Sedangkan surat cek menitikberatkan fungsi ekonomis
sebagai alat pembayaran tunai.
2) Waktu peredaran. Sebagai
alat pembayaran kredit, surat wesel mempunyai waktu peredaran yang lama bisa
melebihi satu tahun. sedangkan surat cek sebagai alat pembayaran tunai
mempunyai waktu peredaran yang singkat yaitu 70 hari (pasal 206 ayat 1 KUHD).
3) Waktu pembayaran
4) Penerbitan atas banker
5) Lembaga akseptasi
6) Klausulayang berlainan
d.
Macam-macam
cek:[15]
1)
Cek biasa
2)
Cek atas
pengganti penerbit
3)
Cek atas
penerbit sendiri
4)
Cek untuk
perhitungan pihak ketiga
5)
Cek inkasso
6)
Cek berdomisili
7)
Cek silang cek
untuk penghitungan
3. Saham
a. Pengertian
Saham
Dalam bahsa
Belanda, sham disebut dengan “andeel”
sedangkan dalam bahasa Inggris disebuit dengan istilah “share”
atau “stock”.[16]
Saham merupakan surat bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan yang melakukan
penawaran umum (go public) dalam
nominal atau presentase tertentu. Menurut Subagyo (1997) dalam bukunya Munir
Fuady, saham merupakan tanda penyertaan modal pada suatu perseroan terbatas
(PT). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Alma (1997), yang mendefinsikan saham
sebagai surat keterangan tanda turut serta dalam perseroan. Para pemegang andil
merupakan pemilik perusahaan yang bisa menikmati keuntungan perusahaan
sebanding dengan modal yang disetorkannya. Selain dari deviden yang dapat
diperoleh para pemegang saham nilai keuntungan yang merupakan selisih positif
harga beli dan harga jual saham yang merupakan benefit selanjutnya yang dapat
dinikmati oleh para pemegang saham. Selain manfaat yang bersifat finansial,
para pemegang saham juga memiliki benefit yang bersifat nonfinansial, yaitu hak
suara dalam aktivitas perusahaan.
Pada umumnya
saham yang ditebitkan oleh sebuah perusahaan (emiten) yang melakukan penawaran umum (initial Publik Offering) ada dua macam yaitu saham biasa (common trock) dan saham istimewa (perfeck stock). Perbedaan saham ini
berdasarkan pada hak yang melekat pada saham tersebut. Hak tersebut meliputi
hak atas deviden, dan memperoleh bagian kekayaan jika perusahaan dilikuidasi
setelah dikurangi semua kewajiban-kewajiban-kewajiban perusahaan.[17]
b. Tipe
macam Saham
Selain dari
saham biasa dan istimewa, saham memiliki macam dan jenis yang cukup beragam, berikut
adalah beberapa tipe macam saham:
1) Sham
yang dicap (assented shares),
penyetempelan sham dapa terjadi dalam hal perseroan mengalami kerugian besar,
yang tidak dihapuskan dari cadangan perseroan.
2) Saham
Tukar, yaitu jenis saham yang dapat ditukar oleh pemiliknya dengan jenis saham
lain, biasanya saham preferen dengan saham biasa.
3) Saham
tanpa suara, yaitu saham yang pemiliknya tidak diberi suara pada RUPS (non voting stock).
4) Saham
tanpa pari, yaitu saham yang yang tidak memiliki nilai nominal atau pari,
tetapi hak pemiliknya dapat diketahui dengan cara menjumlahkan seluruh kekayaan
dan kemudian dibagi dengan jumlah saham yang dikeluarkan (no par stock)
5) Saham
preferen unggul, yaitu saham prefern yang hak prioritasnya lebih besar dari
preferen lain.
6) Saham
preferen tukar, yaitu saham preferen yang dapat ditukar oleh pemiliknya dengan
saham biasa.
7) Saham
preferen partisipasi, yaitu saham yang disampingkan hak prioritasnya masih
dapat turut serta dalam pembagian deviden selanjutnya.
8) Saham
preferen kumulatif, yaitu saham preferen yang memberikan hak untuk mendapatkan
deviden yang belum dibayarkan pada tahun-tahun yang lalu secara kumulatif.
9) Saham
pendiri, yaitu jasa yang diberikan oleh para pendiri persahaan, baik berupa
penyertaan modal yang bersumberkan dari penarikan beberapa peserta lainnya atau
dari relasi.
10) Saham
pegawai, yaitu kesempatan yang diberikan oleh perseroan kepada para pegawainya
untuk memiliki saham perusahaan.
11) Saham
bonus, pada saat perbandingan antara cadangan dan modal saham yang tidak
berimbang pada suatu perseroan dapat dihilangkan dengan jalan memberikan saham
bonus kepada para pemegang saham dengan Cuma-Cuma.[18]
4. Surat Obligasi
a. Pengertian
Obligasi
Salah satu bentuk instrumen
investasi pada pasar modal adalah obligasi. Obligasi berasal dari Bahasa
Belanda yaitu “obligatie” yang dalam
Bahasa Indonesia disebut dengan “obligasi” yang berarti kontrak. Dalam
Keputusan Presiden RI Nomor 775/KMK001/1982 disebutkan bahwa obligasi adalah
jenis efek berupa surat pengakuan utang atas pinjaman uang dari masyarakat
dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga tahun dengan
menjajikan imbalan berupa bunga yang jumlah serta saat pembayarannya telah
ditentukan terlebih dahulu oleh emiten (Badan Pelaksana Pasar Modal).[19]
Dari pengertian tersebut
dapat diketahui bahwa obligasi adalah suatu surat berharga jangka panjang yang
bersifat hutang yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi dengan
kewajiban membayar bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok pada saat
jatuh tempo kepada pemegang obligasi.[20]
Obligasi merupakan surat
pengakuan utang atas pinjaman yang diterima oleh perusahaan penerbit obligasi
dari masyarakat yang akan dibayar pada waktu jatuh tempo sebesar nilai
nominalnya. Jangka waktu obligasi telah ditetapkan dan disertai dengan
pemberian imbalan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya juga telah
ditetapkan dalam perjanjian.
b.
Jenis dan Perangkat Obligasi
Heru
Sudarsono membagi jenis dan peringkat obligasi yang dikenal di pasar modal
Indonesia, sebagai berikut[21]:
1)
Berdasarkan
Penerbitan:
a)
Obligasi Pemerintah
Pusat.
b)
Obligasi Pemerintah
Daerah.
c)
Obligasi Badan Usaha
Milik Usaha.
d)
Obligasi Perusahaan
Swasta.
2)
Berdasarkan Jaminan:
a)
Unsecured
bonds/debentures atau obligasi tanpa jaminan.
b)
Indenture atau
obligasi dengan jaminan.
c)
Mortgage bond atau
obligasi yang dijamin dengan property.
d)
Collateral trust atau
obligasi yang dijamin dengan sekuritas.
e)
Equipment trust
certificates atau obligasi yang dijamin asset tertentu.
f)
Collateralized mortgage
atau obligasi yang dijamin pool of mortgages atau portofolio mortgage-backed
securities.
3)
Berdasarkan Jenis
Kupon:
a)
Fixed rate,
obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap sejak diterbitkan hingga jatuh
tempo.
b)
Floating rate, obligasi
yang tingkat bunganya mengikuti tingkat kupon yang berlaku di pasar.
c)
Mixed rate, obligasi
yang memberikan tingkat kupon tetap untuk periode tertentu.
4)
Berdasarkan
Peringkatnya
a)
Investment grade bonds, minimal BB+.
b)
Non-Investment-grade bonds, CC atau speculative
bond dan D atau junk bond.
5)
Berdasarkan Kupon:
a)
Coupon bonds, pada
obligasi berkupon.
b)
Zero Coupon bonds,
untuk obligasi nirkupon.
6)
Berdasarkan Call
Feature:
a)
Freeely callable bond, obligasi yang dapat ditarik kembali oleh penerbitnya
setiap waktu sebelum jatuh tempo.
b)
Non-callable bond,
setelah obligasi diterbitkan dan terjual, tidak dapat dibeli/ditarik kembali
oleh penerbitnya sebelum obligasi tersebut jatuh tempo.
c)
Deffered callable bond, adalah kombinasi antara Freeely callable bond dan non-callable
bond.
7)
Berdasarkan Konversi:
a)
Convertible bond, obligasi
yang dapat ditukarkan saham setelah jangka waktu tertentu.
b)
Non-Convertible bond, obligasi yang tidak dapat dikonversi menjadi saham.
8)
Jenis obligasi
lainnya:
a)
Income bond, obligasi
yang membayarkan kupon jika emiten penerbitnya mendapatkan laba.
b)
Guaranteed bond,
obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan cabang tetapi tidak didukung oleh
perusahaan induk.
c)
Participating bond,
obligasi yang memiliki hak menerima atas laba selain penghasilan bunga secara
periodic.
d)
Voting bond,
obligasi yang mempunyai hak suara.
e)
Serial bond,
obligasi yang pelunasannya berdasarkan nomor seri.
f)
Inflation index bond atau disebut juga treasury inflation protection securities (TIPS), obligasi yang
nilai nominalnya (principal) selalu disesuaikan dengan tingkat inflasi yang
berlaku.
5.
Surat sanggup
a.
Pengertian
Surat Sanggup
Dalam Undang-Undang surat
sanggup dikenal dengan istilah promesse
aan oder. Surat sanggup juga disebut
dengan surat aksep. Kata aksep berasal dari Perancis “accept” yang artinya setuju. Kata sanggup atau setuju mengandung
suatu janji untuk membayar yaitu kesediaan dari pihak penanda tangan untuk
membayar sejumlah uang kepada pemegang atau penggantinya pada waktu tertentu.
Jadi surat sanggup atau surat aksep adalah surat tanda sanggup atau setuju
membayar sejumlah uang kepada pemegang atau penggantinya pada waktu tertentu.[22]
Terhadap
surat sanggup ini sering juga disebut dengan surat aksep. Tentang surat sanggup
jug ada diatur dalam kitap undang-undang hukum dagang dan berbagai
perundang-undangan lainnya. Yang dimaksud dengan surat sanggup adalah suatu
surat berharga, bertanggal, dan menyebutkan tempat penerbitannya, yang merupakan
kesanggupan taanpa sayarat oleh penerbit untuk membayar (pengakuan utang)
kepada pihak pemegang atau pembawanya. Pembayaran mana dilakukan pada waktu
tertentu oleh pihak penerbit itu sendiri. Kepada surat sanggup berlaku
persyaratan formal sebagai berikut:[23]
1)
Kata-kata surat
sanggup yang dimuat dalam teks dan dituliskan dalam bahasa yang dipakai untuk
wesel tersebut.
2)
Perintah tidak
bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
3)
Tanggal
pembayaran
4)
Penetapan
tempat pembayaran
5)
Tanggal dan
tempat surat sanggup itu ditarik/ diterbitkan.
6)
Tandatangan
penerbit surat aksep
7)
Nama orang yang
kepadanya atau kepada orang lain yang ditunjuk olehnya, pembayaran harus
dilakukan.
Konsekuaensi
hukum apabila suatu surat sanggup tidak memenuhi salah satu dari persyaratan
formil tersebut adalah sebagai berikut:[24]
1)
Jika dalam
suatu surat sanggup tidak ditulis tempat dimana surat itu harus dibayar, maka
surat sanggup tersebut harus dibayar di tempat yang ditulis di samping
tandatangannya (disamping nama penerbit) atau di tempat domisilinya
penandatanganan (penerbit) tersebut.
2)
Jika dalam
surat sanggup tidak ditulis tempat dimana surat sanggup itu diterbitkan maka
surat sanggup itu dianggap ditandatangani di tempat yang ditulis disamping nama
penerbit.
6.
Bilyet giro
a.
Pengertian
Bilyet Giro
Yang
dimaksud dengan bilyet giro adalah suatu
perintah tanpa syarat dari penerbitnya untuk memindahbukukan sejumlah uang yang
ada pada bank dimana penerbit memiliki rekening giro dan dan dana dalam jumlah
yang cukup, dana tersebut dipindah bukukan/ditranfer ke rekening milik pihak
yang namanya tersebut dalam giro tersebut.[25]
Menurut
ketentuan pasal 1butir d Surat Keputusan Direksii Bank Indonesia No. 28/32/Kep/Dir Tahun 1995
tentang Bilyet Giro ( Untuk memudahkan penyebutan selanjutnya disingkat SKBG),
Bilyet Giro adalah surat perintah dari nasabah kepada bank penyimpan dana untuk
memindahbukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada rekening
pemegang yang disebutkan namanya.[26]
Bilyet
giro dengan cek memiliki persamaan sebagai alat pembayaran, tetapi bilyet giro
merupakan alat pembayaran dengan cara melakukan mutasi rekening, sedangkan cek
merupakan alat pembayaran yang dilakukan secara langsung.[27]
Pihak-pihak
yang terlibat dalam buly giro adalah sebagai berikut:[28]
1)
Penarik. Yakni
pihak yang mempunyai rekening pada bank, yang menerbitkan/ menandatangani
bilyet giro, yang berarti dialah yang memberitahkan kepada bank untuk melakukan
pemindahbukuan..
2)
Bank penyimpan
dana/tertarik.yakni bank dimana terdapat rekening giro dari penerbit bilyet
giro.
3)
Bank penerima.
Yakni bank dimana terdapat rekening pembawa, sehingga kedalam rekening
tersebutlah dana ditranfer.
4)
Pemegang. Yakni
pihak yang memegang Bilyet Giro yng namanya tercantum dalam Bilyet Giro
tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Fuady, Munir. 2008.
Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
___________. 2008. Hukum
Perusahaan dalam Paradigama Hukum Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Huda, Nurul & Edwi Nasution, Mustafa. 2008. Investasi pada Pasar Modal Syariah,
Ed.R, Cet.ke-2.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Jumhan, Muhamad. 2003. Hukum
Perbankan Di Indonesia. Bandung: Citra Aditiya Bakti.
Widijowati,
Dijan. 2012. Hukum Dagang. Yogyakarta: ANDI
Anshori, Abdul Ghofur. 2008. Penerepan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan Lembaga Pembiayaan dan
Perusahaan Pembiayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad, Abdul kadir. 2003. Hukum
Dagang Tentang Surat-Surat Berharga. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
_________. 2014. Kitab Undang- Undang Hukum Dagang. Yogyakarta: Pustaka Mahardika.
[1]
Munir Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata
Bisnis Modern di Era Global, cet. Ke-III (Bandung: PT. CITRA ADITYA BAKT,2008),
hal.163
[2]
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang
Surat-Surat Berharga, cet. Ke-VI (Bandung: PT.CITRA ADITYA BAKTI, 2003),
hal.5
[3]
Munir Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata
Bisnis Modern di Era Global, hal.164-165
[4]Abdulkadir
Muhammad, Hukum Dagang tentang
Surat-Surat Berharga, cet. Ke-VI, hal. 29
[5] Ibid., hal.30-33.
[6]
Ibid., hal.42-43.
[7]
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di
Indonesia, cet. Ke-IV (Bandung: PT. CITRA ADITYA BAKTI), hal. 144.
[8]
Munir Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata
Bisnis Modern di Era Global, hal.165
[9]
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di
Indonesia, cet. Ke-IV, hal. 144-145
[10]Abdulkadir
Muhammad, Hukum Dagang tentang
Surat-Surat Berharga, cet. Ke-VI, hal. 62-72
[11]
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di
Indonesia, cet. Ke-IV, hal. 144-148.
[12]Munir
Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata
Bisnis Modern di Era Global, hal. 174.
[13]
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia,
cet. Ke-IV, hal. 144-149.
[15]
Munir Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata
Bisnis Modern di Era Global, hal. 177-178.
[16]
Munir Fuady, Hukum Perusahaan:Paradigma Hukum
Bisnis, cet. Ke-III (Bandung: PT.CTRA ADITYA BAKTI, 2008), hal.37
[17]
Nurul Huda& Mustafa Edwi Nasution, Investasi
pada Pasar Modal Syariah, Ed.R, Cet.ke-2 (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA
GROUP,2008), hal.60-61
[18]
Ibid., hal. 62-63
[19]
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif
Kewenangan Peradilam Agama (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 325.
[20] Abdul Ghofur Anshori, Penerepan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan Lembaga Pembiayaan dan
Perusahaan Pembiayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 105.
[21] Abdul
Manan , Hukum Ekonomi Syariah dalam
Perspektif Kewenangan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana 2012), hal.
327-329. Dalam Heru Sudarsono, , Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah ( Yogyakarta: Ekonosia-FH UII, 2007), hal.
223-224.
[23]
Ibid., hlm. 180-181.
[24]
Ibid., hlm. 176.
[25]
Ibid., hlm. 181.
[26]
Abdulkadir Muhammad, Hukum Dagang tentang
Surat-Surat Berharga, cet. Ke-VI, hal. 224.
[27]
Dijan Widijowati, Hukum Dagang (ANDI Yogyakarta, 2012), hal. 163
[28]
Munir Fuady, Pngantar Hukum Bisnis:Menata
Bisnis Modern di Era Global, hal.182.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar