Kamis, 29 Januari 2015

Sejarah Hukum Islam

  
HUKUM ISLAM PADA MASA TABI’IN
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN GOLONGAN POLITIK






Disusun dan di Ajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata kuliah : Sejarah Hukum Islam
Dosen pengampu : Drs. H. Syufa’at, M.Ag

Disusun oleh :

Nur Wahid                                                1223202013

Semester III/ Syari’ah/ Muamalah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2013








HUKUM ISLAM PADA MASA TABI’IN
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN POLITIK

PENDAHULUAN
Manusia sudah mengenal syariat sejak zaman dahulu kala. Bahkan sebuah sebuah peradaban juga memerlukan aturan. Ini karena syariat dengan segala perangkatnya merupakan perkara penting dan aturan utama yang menjadi kebutuhan demi keberlansungan kehidupan manusia sekaligus menjadi kaidah dasar dalam mengatur hubungan sesama manusia, menjadi satu keniscayaan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, menjadi sebuah keharusan untuk menghasilkan pertumbuhan dan kesatbilan dalam menjalin berbagai bentuk hubungan sesame manusia dalam setiap aspek kehidupan.
Jika manusia menjalankan urusannya tanpa aturan syariat sebagai paying hokum, niscaya akan terjadi konflik dan hubungan social terputus, dengan landasan ini, mengapa syariat islam perlu mendapat perhatian khusus dari semua orang dan tidak memandang golongan social, karena syariat selain memiliki peran yang efektif dalam mengatur urusan, menjamin kelanggengan hubungan social, ia juga dapat mewujudkan keamana dan kesabilan.
Sejarah manusia pernah mengenal berbagai bentuk syariat yang dimiliki oleh umat-umat islam terdahulu. Diantaranya ada yang berbentuk wahyu, dan ada juga yang merupakan hasil kreasi/ciptaan. Syariat Islam lengkap orisinil, valid, dan benar maka menjadi satu kewajiban dalam setiap aspek agar mempelajari dan mengetahui sejarah perkembangan syariat yang agung ini, menelusuri fase-fase yang ada dan mengenal sumber hokum Islam, mempelajari mazhab-mazhab ijtihad yang ada serta kaidah dan teori yang dihasilkan. Maka dari itu dalam makalah ini saya mencoba memaparkan tentang hokum Islam pada masa Tabiin dan pertumbuhan-perkembangan golongan politik. Semoga ini menjadi acuan untuk menjadi insan al-kamil Amin.
HUKUM ISLAM PADA MASA TABIIN
          PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN POLITIK

A.  MASA SIGHOR SAHABAT DAN TABI’IN
Walaupun sahabat dan Tabi’in merupakan dua generasi dari umat yang berbeda, namun karena pada kenyataannya kehidupan mereka (pasca Nabi wafat) begitu menyatu, dalam arti dimana ada sahabat disitu ada tabi’in dan disitu pula ada hadits.[1]
Banyak pendapat yang menyebutkan bahwa fase sesudah khulafa’ur Rasyidin merupakan fase sahabat kecil dan fase tabi’in[2]Periode ini dinamai sighor (yunior) sahabat karena perkembangan hukum islam berawal dari mereka setelah wafatnya sahabat yang bergelar Al-Khulafa Ar Rasyidin. Dari para sahabat yunior ini, fiqih dikembangkan oleh Tabi’in terkemudian.
Ibnu Qayim mencatat bahwa periode sighor dan Tabi’in disebarkan oleh empat pengikut fuqaha terkemuka yaitu pengikut Ibn Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Orang-orang Madinah, misalnya banyak mendapat fiqh dari pengikut-pengikut Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar, orang-orang Mekah diwarisi oleh fiqh Abdullah bin Abbas dan orang-orang Irak diwarisi oleh Ibnu mas’ud.
Pada awalnya, kebanyakan dari mereka tinggal di madinah, setelah kekuasaan Islam bertambah luas, mereka tinggal berpencar diberbagai tempat. Maka dari itu pembentukan hukum pada masa ini dengan melalui Ijma, kemudian mereka melakukan Ijtihad perorangan.
Periode ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656 M), khalifah ketiga, para sahabat sudah tersebar di berbagai daerah yang ditaklukan Islam. Tiap-tiap sahabat mengajarkan Al-Quran dan Hadits Muhammad SAW, kepada penduduk setempat. Di Irak sahabat yang dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bi Mas’ud, sedangkan Zaid bin Sabit (11 SH/611)-45H/665 M) dan Abdullah bin Umar di Madinah, dan Ibnu Abbas di Mekah, masing-masing sahabat menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyarakat setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan para tabi’in. Tabiin adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak darinya.
Dari penjelasan ini jelas bahwa tabi’in tidak harus melihat baginda Rasulullah sebab jika ia melihatnya, itu artinya ia termasuk sahabat Rasulullah. Selain itu juga tidak disyaratkan harus bertemu dengan sahabat seperti yang dikuatkan oleh ulama hadits, tidak disyaratkan harus meriwayatkan hadits dari seorang sahabat, namun cukup hanya melihat dan bertemu ketika ia berusia Tamyiz (baligh).
Al-Quran telah mengabadikan kedudukan dan keagungan para tabi’in dalam Q.S At-Taubat Ayat:100) dimana Allah menyediakan pahala yang besar bagi mereka yang mengikuti para sahabat dengan ihsan dan inilah salah satu bentuk sanjungan dan penghormatan Allah bagi sahabat dan para tabi’in.
Terkait masalah ini baginda Rasulullah pernah Bersabda, bahagialah bagi yang pernah melihat dan beriman kepdaku, dan bahagialah bagi yang pernah melihat siapa yang melihatku dan juga orang-orang yang melihat siapa yang pernah melihatku, bahagialah mereka dan baiklah tempat kembalinya.[3]
Para tabi’in ini yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyab (15 H-94 H) di madinah, Atha bin Abi Rabah (27 H-114 H) di Mekah, Ibrahim An-Nakhai (w. 76 H) di Kufah, Al-hasan (21 H/642 M-110 H/728 M) di Basrah Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Kemudian mereka menjadi guru yang terkenal di daerahnya dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat. Persoalan yang mereka hadapi berbeda-berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat[4].
B.  PRODUK HUKUM PADA MASA TABI’IN
Dari perbedaan metode yang di kembangkan para sahabat ini muncullah dalam fiqh Islam Madrasah Alhadits (madrasah=aliran) dan madrasah Ar-Ra’yu. Madrasah Al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan madrasah Al-Iraq dan madrasah Al-Kufah.
Secara garis besar aliran atau produk hukum islam pada decade awal dibedakan menjadi dua, yaitu aliran Madinah dan aliran Kufah (Irak). Aliran Madinah dipelopori oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di Madinah. Ulama yang terkenal sebagai pendiri Aliran Madinah adalah Fuqaha sab’ah yaitu: said Ibn Al-Musayyab (w.94 H), Urwah Ibn Az-Zubair (w. 94 H), Abu Bakar Ibn Abd Rahman Al-Harits Ibn Al-Makhzumi (w.94 H), Ubaid Allah Ibn Abdullah Ibn Utbah Mas’ud (w.98 H), Kharijah Ibn Zaid Ibn tsabit (w.99 H), Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr (w.107 H), sulaiman Ibna I-yasr (w. 107 H). Madrasah Madinah menurut Umar Sulaiman Al-Asyqar (1991:86), merupakan akar atau rujukan utama aliran maliki yang di dirikan oleh Imam Maliki.
Madrasah Ra’yu atau Madrasah Al-Kufah adalah sekelompok ulama yang tinggal di Kufah yang lebih banyak menggunakan Ra’yu di Banding dengan madrasah Madinah, sejak bebas untuk keluar dari Madinah banyak sahabat yang tinggal di Kufah. Diantara mereka adalah Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Sa’ad bin Abi Waqash, Amar Ibn Yasr, Khuzaifah Ibn Al-Yaman, dan Anas Ibn Malik. Jumlah mereka terus bertambah, terutama setelah terjadi pembunuhan terhadap Usman Ibn Affan hingga mencapai tiga ratus orang.
Kedua aliran diatas menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah Al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits, disamping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahan tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Adapaun Madrasah Al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW, yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas ataupun kuantitas, di bandinkan dengan yang dihadapi madrasah Alhijaz. Ulama Hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya Homogen, sedangkan Ulama Irak berhadapan dengan masyarakat yang relative majemuk, maka tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.[5]
C.  SUMBER HUKUM PADA MASA TABI’IN
Pelaksanaan syari’ah pada hakikatnya sering merupakan bagian dari nazhar fil mazhalim.[6]Sumber hukum pada masa ini adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan beberapa metode istinbath hukum seperti: Istidlal, Istishab, fatwa Sahabat, urf, mashalih al-mursalah, saddu adz-dzari’ah dan syariat sebelum Islam[7].
1.    Al-Quran, terdapat banyak perbedaan dalam menafsirkan nash-nash yang tidak qath’I interpretasinya yang sebelumnya tidak terjadi pada zaman sahabat. Hal tersebut dikarenakan para fuqaha generasi ini tidak melihat langsung turunya Al-Quran.
2.    As-Sunnah, mereka lebih banyak menggantungkan diri dengannya dibandingkan pada zaman sahabat, terutama setelah menyebar periwayatan hadits dan banyaknya fuqaha yang memberi fatwa
3.    Ijma, pada zaman ini terjadi perbedaan tentang ijma yang dapat di jadikan sumber hukum, yaitu kesepakatan semua mujtahid. Namun zaman ini ijma banyak mengalamidekresi uergensi sebagai sumber hukum bagi fiqh Islam.
4.    Qiyas, terjadi perbedaan tentang legalitasnya seperti yang sudah kami jelaskan, namun mayoritas ulama tetap menggunakannya walaupun, walau lebih condong memperkecil ruang qiyas kecuali jika terpaksa[8].
D.  KEISTIMEWAAN PERIODE TABI’IN
1.    Mempunyai pengaruh yang besar dalam istimbath.
2.    Tersebarnya ulama muslimin dalam Negara-negara Islam
3.    Tersiarnya riwayat hadits.
4.    Munculnya sejumlah besar dari para maula yang belajar.
5.    Adanya pertentangan pendapat dan hadits serta munculnya penolong dimasing-masingnya.[9]
E.  PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM PADA MASA TABIIN
Pertumbuhan hukum pada masa tabiin telah berkembang dengan pesat, sehingga pada masa in, juga disebut dengan masa keemasan bagi umat islam. Periode tabiin simulai pada awal abad ke-2 H dan berakhir pada abad ke-4 H. kurang lebih periode ini berjalan sekitar 200 tahun, fase ini dinamai dengan periode pembukuan dan pembangunan mazhab, selain itu fase ini juga dikenal dengan fase imam-imam mujtahidin. Beberapa factor penyebab umat Islam dapat mencapai zaman keemasan antara lain adalah:
1.    Kekuasaan Telah Mengalami Perluasan
Pemerintahan pada masa tabiin ini mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat, sehingga wilayah kekuasaanya sudah meliputi berbagai macam bangsa. Oleh kerena itu para ulama mencurahkan tenaganya untuk mengembalikan persoalannya pada sumber hukum islam, serta memegang teguh nash-nash syariat dan juga hukum yang dibutuhkan oleh pemerintah berupa kemaslahatan-kemaslahatan dan keperluan hidup.
2.    Para Ulama mempunyai Ilmu yang mendalam
Para tabiin telah mengetahui bahwa jalan peundang-undangan sudah terbentang. Sementara kesulitan hukum sudah bias diatasi, hal ini disebabkan mereka telah memperoleh hukum syariat ditangan mereka. Al-Quran sudah dibukukan dan sudah berkembang luas dikalangan umat islam, sedangkan sunnah juga telah dibukukan sejak awal abad kedua Hijriah.
3.    Umat Islam pada periode ini kuat menjaga diri
Pengetahuan dan kemantapan iman umat islam pada masa ini semakin kuat, mereka mengembalikan semua persoalan yang bersifat umum dan detail kepada orang yang ahli ilmu dalam hukum Islam yaitu para mujatahidin.
4.    Munculnya Para imam mazhab yang ikut Menegakan Ajaran Islam
Lahirnya para tokoh dari masyarakat juga ikut berjuang dalam mempertahankan nilai-nilai syariat Islam. Semisal Abu hanifah, Syafi’i, Maliki, Hanbali. Begitu juga pemuka-pemuka lain yang sezaman dengan beliau itu dari kalangan para imam dan mujtahidin[10].
Karakteristik Fiqh:
Sumber fiqh pada masa tabiin masih terbatas pada Al-Quran, sunnah, ijma, dan logika tetapi ada sedikit perubahan dalam aspek penggunaanya dan mempunyai karakteristik yaitu:
a)    Munculnya beberapa manhaj (metode) kajian fiqh yang bersih;
b)   Sinergitas antara para mawali (keturunan hamba sahaya);
c)    Perhatian terhadap as-Sunnah;
                             i.     Meluasnya periwayatan hadits
                           ii.     Mengumpulkan sunnah dan riwayat para sahabat
                         iii.     Pembukuan sunnah
                         iv.     Membendung pemalsuan hadits.
d)   Terpengaruhnya beberapa sumber hukum denga pergolakan politik seperti ijma.
e)    Munculnya fiqh iftiradhiy (andaian) yan dibawa oleh ulama ahli ro’yi
f)    Perbedaan dala masalah furu fiqhiyah yang disebabkan oleh perbedaan politik.[11]


F.   PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN POLITIK
Pertumbuhan dan perkembangan politik pada masa tabiin dimulai dari perbedaa antara kaum muslimin tentang maslah khilafah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib telah mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah menjadi tiga golongan:
1.    Khawarij, dengan doktrin:
1)   Menjadikan khilafah sebagai hak setiap muslim, dan tidak terbatas untuk ahlil bait dan Quraisy.
2)   Khawarij mengingkari qiyas
3)   Sebagian ada yang mengingkari hukum syariat.
2.    Syiah, dengan doktrin:
1)   Membolehkan nikah mut’ah
2)   Mengharamkan orang muslim menikahi ahlil kitab
3)   Mengambil sunnah sebagai sumber hukum dari periwayatan ahlil bait
4)   Mayoritas menolak qiyas
3.    Jumhur kaum muslimin, yaitu orang yang bersikap abstain (apolitis) dan tidak ikut-ikutan terjun ke dalam pergolakan politik.[12]
Dengan cara ini kota madinah menjadi satu-satunya ibukota ilmu dan politik bagi Negara islam karena para sahabat menetap didalamnya. Disamping itu Allah juga member sebagian mereka cara berfikir yang brilian, kapasitas dan kemampuan keilmuan dalam memahami hadits dan ayat, menekuni berbagai jenis ilmu dan cabangnya walaupun mereka memiliki daya hafal, jumlah periwayatan, intelektualitas, dan linguistic yang berbeda, oleh karena itu, mereka akan lebih mudah untuk bersepakat dengan apa yang ada di pihak yang lain.
Keadaan in terus berlanjut sampai pada masa tabiin dimana sahabat menyebar keseluruh pelosok negeri untuk mengatur urusan pemerintahan. Perbedaan adat istiadat, hubungan social, keadaan dan taraf hidup, jenis pekerjaan, ilmu dan wawasan telah memberika pengaruh yang besar terhadap perbedaan masalah fatwa dan politik pada suatu negeri dengan negeri yang lain.[13]
Ada beberapa hal yang perlu kita perjelas keberadaanya, baik dalam batasan wacana maupun realitas dalam politik islam. Pertama kelompok yang sengaja mempolitisasi islam. Muawiyah adalah aktualisasi yan paling transparan dalam mempolitisasi islam untuk sebuah ambisi politik yang didalam terdapat segenap instrik, konspirasi, kolusi dan kelicikan lainnya. Pada akhirnya semua itu bersatu dalam bentuk destruktif
 Kedua dugaan-dugaan politik yang ingin diislamkan.anggapan-anggapan dan dugaan-dugaan melumat semua kal sehat mereka. Kelompok ini sering disebut dengan falasi (kelompok sesat pikir). Golongan yang paling falasi adalah khawarij dan akhirnya mereka terjerumus dalam kesesatan. Ketiga etika dan roh politik islam. Kelompok ini adalah manusia Qurani dan sekaligus diwakili oleh Khalifah Ali bin Abi thalib.
Sejumlah factor adanya politik adalah Justifikasi keagamaan untuk kwajiban syariat Islam[14] dan Seseorang pada kondisi ini, harus membekali diri dengan hati yang bersih. Pada prinsipnya, islam menghindari kondisi-kondisi yang chaos, terutama chaos politik.



KESIMPULAN

Fase pengembangan dan penyempurnaan hukum islam mulai dari tahun 11 H sampai dengan akhir abad 14 H. tahapan-tahapan ini dimulai dari masa: 1) Masa Khulafa Ar-Rasyidin. 1) Masa Dinasti Umayyah. 1) Masa Bani Abasiyah.
Tabiin adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak darinya.
Pertumbuhan hukum pada masa tabiin telah berkembang dengan pesat, sehingga pada masa in, juga disebut dengan masa keemasan bagi umat islam. Periode tabiin simulai pada awal abad ke-2 H dan berakhir pada abad ke-4 H. kurang lebih periode ini berjalan sekitar 200 tahun.
Beberapa factor penyebab umat Islam dapat mencapai zaman keemasan antara lain adalah: 1) Kekuasaan Telah Mengalami Perluasan. 2) Para Ulama mempunyai Ilmu yang mendalam. 3) Umat Islam pada periode ini kuat menjaga diri. 4)Munculnya Para imam mazhab yang ikut Menegakan Ajaran Islam.
Pertumbuhan dan perkembangan politik pada masa tabiin dimulai dari perbedaa antara kaum muslimin tentang maslah khilafah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib telah mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah
Dengan cara ini kota madinah menjadi satu-satunya ibukota ilmu dan politik bagi Negara islam karena para sahabat menetap didalamnya. Disamping itu Allah juga member sebagian mereka cara berfikir yang brilian, kapasitas dan kemampuan keilmuan. Keadaan in terus berlanjut sampai pada masa tabiin terhadap perbedaan masalah fatwa dan politik pada suatu negeri dengan negeri yang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Hasan Khalil, Rasyad. 2010. Tarikh Tasyri’. Jakarta: Sinar Grafika offset.
Roibin. 2010. Penetapan Hukum Islam. Malang: UIN-maliki press.
Jafri, SHM. 2003. Moralitas Politik Islam. Jakarta: Pustaka Zahra.
Naim, Ngainun.2003. sejarah pemikiran hukum Islam. Yogyakarta: Teras.
Supriyadi, Dedi.2010.Sejarah hukum Islam. Bandung: CV PSTAKA SETIA.
Zuhri, Mohammad. Tarjamah tarikh Tasyrik Al-Islami.Semarang: Daarul ihya.
Dailamy.  2010.hadits semenjak disabdakan sampai dibukukan.  Purwokerto: stain purwokerto press.
Adnan amal, Taufik. 2004.politik syariat islam. Jakarta: Pustaka alvabet.
Schacht,Joseph.1997. pengantar hukum islam. Oxford:clarendon press.


[1] Dailamy, Hadits semenjak disabdakan sampai dibukukan, stain purwokerto press, cet ke-1,hlm.91.
[2] Ngainun Naim,sejarah pemikiran hukum islam, Teras,cet ke-1, hlm.73.
[3] Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Sinar Grafika Offset, cet ke-2,2010, hlm.77-79.


[4] Dedi Supriyadi, sejarah Hukum Islam, Pustaka Setia,cet ke-2, hlm.82-84.
[5] Dedi Supriyadi, ibid,hlm.84-87.
[6] Joseph Schacht, pengantar hukum islam,clarendon press, cet ke-73.
[7] Dedi Supriyadi,ibid,hlm.87.
[8] Rasyad hasan Khalil, ibid,hlm.99-100.
[9] Mohammad zuhri, Tarjamah tarikh Al-Tasyri Al-Islami, Darul ikhya,hlm.283-292.
[10] Roibin,penetapan hukum Islam, uin maliki press,cet ke-1,2010,hlm.53-54.
[11] Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Sinar Grafika Offset, cet ke-2,2010, hlm.101.

[12] Ibid,hlm.79-83.
[13] Ibid, hlm.84-85.
[14] Taufik adnan amal, politik syariat islam, pustaka alvabet, cet ke-1,hlm.168.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar