HUKUM ISLAM PADA MASA TABI’IN
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN GOLONGAN POLITIK
Disusun dan di Ajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata kuliah : Sejarah
Hukum Islam
Dosen pengampu : Drs. H. Syufa’at, M.Ag
Disusun oleh :
Nur Wahid 1223202013
Semester III/ Syari’ah/ Muamalah
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
HUKUM ISLAM PADA MASA TABI’IN
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN POLITIK
PENDAHULUAN
Manusia sudah mengenal syariat sejak zaman dahulu kala. Bahkan
sebuah sebuah peradaban juga memerlukan aturan. Ini karena syariat dengan
segala perangkatnya merupakan perkara penting dan aturan utama yang menjadi
kebutuhan demi keberlansungan kehidupan manusia sekaligus menjadi kaidah dasar
dalam mengatur hubungan sesama manusia, menjadi satu keniscayaan untuk
mewujudkan kemaslahatan bersama, menjadi sebuah keharusan untuk menghasilkan
pertumbuhan dan kesatbilan dalam menjalin berbagai bentuk hubungan sesame
manusia dalam setiap aspek kehidupan.
Jika manusia menjalankan urusannya tanpa aturan syariat sebagai
paying hokum, niscaya akan terjadi konflik dan hubungan social terputus, dengan
landasan ini, mengapa syariat islam perlu mendapat perhatian khusus dari semua
orang dan tidak memandang golongan social, karena syariat selain memiliki peran
yang efektif dalam mengatur urusan, menjamin kelanggengan hubungan social, ia
juga dapat mewujudkan keamana dan kesabilan.
Sejarah manusia pernah mengenal berbagai bentuk syariat yang
dimiliki oleh umat-umat islam terdahulu. Diantaranya ada yang berbentuk wahyu,
dan ada juga yang merupakan hasil kreasi/ciptaan. Syariat Islam lengkap
orisinil, valid, dan benar maka menjadi satu kewajiban dalam setiap aspek agar
mempelajari dan mengetahui sejarah perkembangan syariat yang agung ini,
menelusuri fase-fase yang ada dan mengenal sumber hokum Islam, mempelajari mazhab-mazhab
ijtihad yang ada serta kaidah dan teori yang dihasilkan. Maka dari itu dalam
makalah ini saya mencoba memaparkan tentang hokum Islam pada masa Tabiin dan
pertumbuhan-perkembangan golongan politik. Semoga ini menjadi acuan untuk
menjadi insan al-kamil Amin.
HUKUM ISLAM PADA MASA TABIIN
PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN POLITIK
A.
MASA SIGHOR
SAHABAT DAN TABI’IN
Walaupun sahabat dan Tabi’in merupakan dua generasi dari umat yang
berbeda, namun karena pada kenyataannya kehidupan mereka (pasca Nabi wafat)
begitu menyatu, dalam arti dimana ada sahabat disitu ada tabi’in dan disitu
pula ada hadits.[1]
Banyak pendapat yang menyebutkan bahwa fase sesudah khulafa’ur
Rasyidin merupakan fase sahabat kecil dan fase tabi’in[2]Periode
ini dinamai sighor (yunior) sahabat karena perkembangan hukum islam berawal
dari mereka setelah wafatnya sahabat yang bergelar Al-Khulafa Ar Rasyidin. Dari
para sahabat yunior ini, fiqih dikembangkan oleh Tabi’in terkemudian.
Ibnu Qayim mencatat bahwa periode sighor dan Tabi’in disebarkan
oleh empat pengikut fuqaha terkemuka yaitu pengikut Ibn Mas’ud, Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Orang-orang Madinah, misalnya
banyak mendapat fiqh dari pengikut-pengikut Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin
Umar, orang-orang Mekah diwarisi oleh fiqh Abdullah bin Abbas dan orang-orang
Irak diwarisi oleh Ibnu mas’ud.
Pada awalnya, kebanyakan dari mereka tinggal di madinah, setelah
kekuasaan Islam bertambah luas, mereka tinggal berpencar diberbagai tempat.
Maka dari itu pembentukan hukum pada masa ini dengan melalui Ijma, kemudian
mereka melakukan Ijtihad perorangan.
Periode ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman
Usman bin Affan (576-656 M), khalifah ketiga, para sahabat sudah tersebar di
berbagai daerah yang ditaklukan Islam. Tiap-tiap sahabat mengajarkan Al-Quran
dan Hadits Muhammad SAW, kepada penduduk setempat. Di Irak sahabat yang dikenal
sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bi Mas’ud, sedangkan Zaid bin
Sabit (11 SH/611)-45H/665 M) dan Abdullah bin Umar di Madinah, dan Ibnu Abbas
di Mekah, masing-masing sahabat menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai
dengan keadaan masyarakat setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang
dikenal dengan para tabi’in. Tabiin adalah setiap muslim yang belum sempat
melihat Nabi Muhammad SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat,
baik ia meriwayatkan atau tidak darinya.
Dari penjelasan ini jelas bahwa tabi’in tidak harus melihat baginda
Rasulullah sebab jika ia melihatnya, itu artinya ia termasuk sahabat
Rasulullah. Selain itu juga tidak disyaratkan harus bertemu dengan sahabat
seperti yang dikuatkan oleh ulama hadits, tidak disyaratkan harus meriwayatkan
hadits dari seorang sahabat, namun cukup hanya melihat dan bertemu ketika ia
berusia Tamyiz (baligh).
Al-Quran telah mengabadikan kedudukan dan keagungan para tabi’in
dalam Q.S At-Taubat Ayat:100) dimana Allah menyediakan pahala yang besar bagi
mereka yang mengikuti para sahabat dengan ihsan dan inilah salah satu bentuk
sanjungan dan penghormatan Allah bagi sahabat dan para tabi’in.
Terkait masalah ini baginda Rasulullah pernah Bersabda, bahagialah
bagi yang pernah melihat dan beriman kepdaku, dan bahagialah bagi yang pernah
melihat siapa yang melihatku dan juga orang-orang yang melihat siapa yang
pernah melihatku, bahagialah mereka dan baiklah tempat kembalinya.[3]
Para tabi’in ini yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyab (15 H-94
H) di madinah, Atha bin Abi Rabah (27 H-114 H) di Mekah, Ibrahim An-Nakhai (w.
76 H) di Kufah, Al-hasan (21 H/642 M-110 H/728 M) di Basrah Makhul di Syam
(Suriah) dan Tawus di Yaman. Kemudian mereka menjadi guru yang terkenal di
daerahnya dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat. Persoalan yang mereka
hadapi berbeda-berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula.
Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad
sahabat yang ada di daerah mereka sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap
para sahabat[4].
B.
PRODUK HUKUM
PADA MASA TABI’IN
Dari perbedaan metode yang di kembangkan para sahabat ini muncullah
dalam fiqh Islam Madrasah Alhadits (madrasah=aliran) dan madrasah Ar-Ra’yu.
Madrasah Al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan madrasah Al-Iraq dan
madrasah Al-Kufah.
Secara garis besar aliran atau produk hukum islam pada decade awal
dibedakan menjadi dua, yaitu aliran Madinah dan aliran Kufah (Irak). Aliran
Madinah dipelopori oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di Madinah.
Ulama yang terkenal sebagai pendiri Aliran Madinah adalah Fuqaha sab’ah yaitu:
said Ibn Al-Musayyab (w.94 H), Urwah Ibn Az-Zubair (w. 94 H), Abu Bakar Ibn Abd
Rahman Al-Harits Ibn Al-Makhzumi (w.94 H), Ubaid Allah Ibn Abdullah Ibn Utbah
Mas’ud (w.98 H), Kharijah Ibn Zaid Ibn tsabit (w.99 H), Al-Qasim Ibn Muhammad
Ibn Abi Bakr (w.107 H), sulaiman Ibna I-yasr (w. 107 H). Madrasah Madinah
menurut Umar Sulaiman Al-Asyqar (1991:86), merupakan akar atau rujukan utama
aliran maliki yang di dirikan oleh Imam Maliki.
Madrasah Ra’yu atau Madrasah Al-Kufah adalah sekelompok ulama yang
tinggal di Kufah yang lebih banyak menggunakan Ra’yu di Banding dengan madrasah
Madinah, sejak bebas untuk keluar dari Madinah banyak sahabat yang tinggal di
Kufah. Diantara mereka adalah Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Sa’ad bin Abi
Waqash, Amar Ibn Yasr, Khuzaifah Ibn Al-Yaman, dan Anas Ibn Malik. Jumlah
mereka terus bertambah, terutama setelah terjadi pembunuhan terhadap Usman Ibn
Affan hingga mencapai tiga ratus orang.
Kedua aliran diatas menganut prinsip yang berbeda dalam metode
ijtihad. Madrasah Al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits, disamping
kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahan tidak banyak
memerlukan logika dalam berijtihad. Adapaun Madrasah Al-Iraq dalam menjawab
permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW, yang
sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh
lebih berat dan beragam, baik secara kualitas ataupun kuantitas, di bandinkan
dengan yang dihadapi madrasah Alhijaz. Ulama Hijaz berhadapan dengan suku
bangsa yang memiliki budaya Homogen, sedangkan Ulama Irak berhadapan dengan
masyarakat yang relative majemuk, maka tidak mengherankan jika ulama Irak
banyak menggunakan logika dalam berijtihad.[5]
C.
SUMBER HUKUM
PADA MASA TABI’IN
Pelaksanaan syari’ah pada hakikatnya sering merupakan bagian dari
nazhar fil mazhalim.[6]Sumber
hukum pada masa ini adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan beberapa metode
istinbath hukum seperti: Istidlal, Istishab, fatwa Sahabat, urf, mashalih
al-mursalah, saddu adz-dzari’ah dan syariat sebelum Islam[7].
1.
Al-Quran,
terdapat banyak perbedaan dalam menafsirkan nash-nash yang tidak qath’I
interpretasinya yang sebelumnya tidak terjadi pada zaman sahabat. Hal tersebut
dikarenakan para fuqaha generasi ini tidak melihat langsung turunya Al-Quran.
2.
As-Sunnah,
mereka lebih banyak menggantungkan diri dengannya dibandingkan pada zaman
sahabat, terutama setelah menyebar periwayatan hadits dan banyaknya fuqaha yang
memberi fatwa
3.
Ijma, pada
zaman ini terjadi perbedaan tentang ijma yang dapat di jadikan sumber hukum,
yaitu kesepakatan semua mujtahid. Namun zaman ini ijma banyak mengalamidekresi
uergensi sebagai sumber hukum bagi fiqh Islam.
4.
Qiyas, terjadi
perbedaan tentang legalitasnya seperti yang sudah kami jelaskan, namun
mayoritas ulama tetap menggunakannya walaupun, walau lebih condong memperkecil
ruang qiyas kecuali jika terpaksa[8].
D.
KEISTIMEWAAN
PERIODE TABI’IN
1.
Mempunyai
pengaruh yang besar dalam istimbath.
2.
Tersebarnya
ulama muslimin dalam Negara-negara Islam
3.
Tersiarnya
riwayat hadits.
4.
Munculnya
sejumlah besar dari para maula yang belajar.
5.
Adanya
pertentangan pendapat dan hadits serta munculnya penolong dimasing-masingnya.[9]
E.
PERTUMBUHAN
HUKUM ISLAM PADA MASA TABIIN
Pertumbuhan hukum pada masa tabiin telah berkembang dengan pesat,
sehingga pada masa in, juga disebut dengan masa keemasan bagi umat islam.
Periode tabiin simulai pada awal abad ke-2 H dan berakhir pada abad ke-4 H.
kurang lebih periode ini berjalan sekitar 200 tahun, fase ini dinamai dengan
periode pembukuan dan pembangunan mazhab, selain itu fase ini juga dikenal
dengan fase imam-imam mujtahidin. Beberapa factor penyebab umat Islam dapat
mencapai zaman keemasan antara lain adalah:
1.
Kekuasaan Telah
Mengalami Perluasan
Pemerintahan pada masa tabiin ini mengalami perluasan wilayah yang
sangat pesat, sehingga wilayah kekuasaanya sudah meliputi berbagai macam
bangsa. Oleh kerena itu para ulama mencurahkan tenaganya untuk mengembalikan
persoalannya pada sumber hukum islam, serta memegang teguh nash-nash syariat
dan juga hukum yang dibutuhkan oleh pemerintah berupa kemaslahatan-kemaslahatan
dan keperluan hidup.
2.
Para Ulama
mempunyai Ilmu yang mendalam
Para tabiin telah mengetahui bahwa jalan peundang-undangan sudah
terbentang. Sementara kesulitan hukum sudah bias diatasi, hal ini disebabkan
mereka telah memperoleh hukum syariat ditangan mereka. Al-Quran sudah dibukukan
dan sudah berkembang luas dikalangan umat islam, sedangkan sunnah juga telah
dibukukan sejak awal abad kedua Hijriah.
3.
Umat Islam pada
periode ini kuat menjaga diri
Pengetahuan dan kemantapan iman umat islam pada masa ini semakin
kuat, mereka mengembalikan semua persoalan yang bersifat umum dan detail kepada
orang yang ahli ilmu dalam hukum Islam yaitu para mujatahidin.
4.
Munculnya Para
imam mazhab yang ikut Menegakan Ajaran Islam
Lahirnya
para tokoh dari masyarakat juga ikut berjuang dalam mempertahankan nilai-nilai
syariat Islam. Semisal Abu hanifah, Syafi’i, Maliki, Hanbali. Begitu juga
pemuka-pemuka lain yang sezaman dengan beliau itu dari kalangan para imam dan
mujtahidin[10].
Karakteristik Fiqh:
Sumber
fiqh pada masa tabiin masih terbatas pada Al-Quran, sunnah, ijma, dan logika
tetapi ada sedikit perubahan dalam aspek penggunaanya dan mempunyai
karakteristik yaitu:
a)
Munculnya
beberapa manhaj (metode) kajian fiqh yang bersih;
b)
Sinergitas
antara para mawali (keturunan hamba sahaya);
c)
Perhatian
terhadap as-Sunnah;
i. Meluasnya periwayatan hadits
ii. Mengumpulkan sunnah dan riwayat para sahabat
iii. Pembukuan sunnah
iv. Membendung pemalsuan hadits.
d)
Terpengaruhnya
beberapa sumber hukum denga pergolakan politik seperti ijma.
e)
Munculnya fiqh
iftiradhiy (andaian) yan dibawa oleh ulama ahli ro’yi
f)
Perbedaan dala
masalah furu fiqhiyah yang disebabkan oleh perbedaan politik.[11]
F.
PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN POLITIK
Pertumbuhan dan perkembangan politik pada masa tabiin dimulai dari
perbedaa antara kaum muslimin tentang maslah khilafah setelah wafatnya Ali bin
Abi Thalib telah mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah menjadi tiga
golongan:
1.
Khawarij,
dengan doktrin:
1)
Menjadikan
khilafah sebagai hak setiap muslim, dan tidak terbatas untuk ahlil bait dan
Quraisy.
2)
Khawarij
mengingkari qiyas
3)
Sebagian ada
yang mengingkari hukum syariat.
2.
Syiah, dengan
doktrin:
1)
Membolehkan
nikah mut’ah
2)
Mengharamkan orang
muslim menikahi ahlil kitab
3)
Mengambil
sunnah sebagai sumber hukum dari periwayatan ahlil bait
4)
Mayoritas
menolak qiyas
3.
Jumhur kaum
muslimin, yaitu orang yang bersikap abstain (apolitis) dan tidak ikut-ikutan
terjun ke dalam pergolakan politik.[12]
Dengan cara ini kota madinah menjadi satu-satunya ibukota ilmu dan
politik bagi Negara islam karena para sahabat menetap didalamnya. Disamping itu
Allah juga member sebagian mereka cara berfikir yang brilian, kapasitas dan
kemampuan keilmuan dalam memahami hadits dan ayat, menekuni berbagai jenis ilmu
dan cabangnya walaupun mereka memiliki daya hafal, jumlah periwayatan,
intelektualitas, dan linguistic yang berbeda, oleh karena itu, mereka akan
lebih mudah untuk bersepakat dengan apa yang ada di pihak yang lain.
Keadaan in terus berlanjut sampai pada masa tabiin dimana sahabat
menyebar keseluruh pelosok negeri untuk mengatur urusan pemerintahan. Perbedaan
adat istiadat, hubungan social, keadaan dan taraf hidup, jenis pekerjaan, ilmu
dan wawasan telah memberika pengaruh yang besar terhadap perbedaan masalah
fatwa dan politik pada suatu negeri dengan negeri yang lain.[13]
Ada beberapa hal yang perlu kita perjelas keberadaanya, baik dalam
batasan wacana maupun realitas dalam politik islam. Pertama kelompok
yang sengaja mempolitisasi islam. Muawiyah adalah aktualisasi yan paling
transparan dalam mempolitisasi islam untuk sebuah ambisi politik yang didalam
terdapat segenap instrik, konspirasi, kolusi dan kelicikan lainnya. Pada
akhirnya semua itu bersatu dalam bentuk destruktif
Kedua dugaan-dugaan politik yang ingin
diislamkan.anggapan-anggapan dan dugaan-dugaan melumat semua kal sehat mereka.
Kelompok ini sering disebut dengan falasi (kelompok sesat pikir). Golongan yang
paling falasi adalah khawarij dan akhirnya mereka terjerumus dalam kesesatan. Ketiga
etika dan roh politik islam. Kelompok ini adalah manusia Qurani dan sekaligus
diwakili oleh Khalifah Ali bin Abi thalib.
Sejumlah factor adanya politik adalah Justifikasi keagamaan untuk
kwajiban syariat Islam[14]
dan Seseorang pada kondisi ini, harus membekali diri dengan hati yang bersih.
Pada prinsipnya, islam menghindari kondisi-kondisi yang chaos, terutama chaos
politik.
KESIMPULAN
Fase pengembangan dan penyempurnaan hukum islam mulai dari tahun 11
H sampai dengan akhir abad 14 H. tahapan-tahapan ini dimulai dari masa: 1) Masa
Khulafa Ar-Rasyidin. 1) Masa Dinasti Umayyah. 1) Masa Bani Abasiyah.
Tabiin
adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia
sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak
darinya.
Pertumbuhan hukum pada masa tabiin telah berkembang dengan pesat,
sehingga pada masa in, juga disebut dengan masa keemasan bagi umat islam.
Periode tabiin simulai pada awal abad ke-2 H dan berakhir pada abad ke-4 H.
kurang lebih periode ini berjalan sekitar 200 tahun.
Beberapa factor penyebab umat Islam dapat mencapai zaman keemasan
antara lain adalah: 1) Kekuasaan Telah Mengalami Perluasan. 2) Para Ulama
mempunyai Ilmu yang mendalam. 3) Umat Islam pada periode ini kuat menjaga diri.
4)Munculnya Para imam mazhab yang ikut Menegakan Ajaran Islam.
Pertumbuhan dan perkembangan politik pada masa tabiin dimulai dari
perbedaa antara kaum muslimin tentang maslah khilafah setelah wafatnya Ali bin
Abi Thalib telah mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah
Dengan cara ini kota madinah menjadi satu-satunya ibukota ilmu dan
politik bagi Negara islam karena para sahabat menetap didalamnya. Disamping itu
Allah juga member sebagian mereka cara berfikir yang brilian, kapasitas dan
kemampuan keilmuan. Keadaan in terus berlanjut sampai pada masa tabiin terhadap
perbedaan masalah fatwa dan politik pada suatu negeri dengan negeri yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Khalil, Rasyad. 2010. Tarikh
Tasyri’. Jakarta: Sinar Grafika offset.
Roibin. 2010. Penetapan Hukum
Islam. Malang: UIN-maliki press.
Jafri, SHM. 2003. Moralitas
Politik Islam. Jakarta: Pustaka Zahra.
Naim, Ngainun.2003. sejarah
pemikiran hukum Islam. Yogyakarta: Teras.
Supriyadi, Dedi.2010.Sejarah hukum
Islam. Bandung: CV PSTAKA SETIA.
Zuhri, Mohammad. Tarjamah tarikh
Tasyrik Al-Islami.Semarang: Daarul ihya.
Dailamy. 2010.hadits semenjak disabdakan sampai
dibukukan. Purwokerto: stain
purwokerto press.
Adnan amal,
Taufik. 2004.politik syariat islam. Jakarta: Pustaka alvabet.
Schacht,Joseph.1997.
pengantar hukum islam. Oxford:clarendon press.
[1]
Dailamy, Hadits semenjak disabdakan sampai dibukukan, stain purwokerto press,
cet ke-1,hlm.91.
[2]
Ngainun Naim,sejarah pemikiran hukum islam, Teras,cet ke-1,
hlm.73.
[4]
Dedi Supriyadi, sejarah Hukum Islam, Pustaka Setia,cet ke-2, hlm.82-84.
[5]
Dedi Supriyadi, ibid,hlm.84-87.
[6]
Joseph Schacht, pengantar hukum islam,clarendon press, cet ke-73.
[7]
Dedi Supriyadi,ibid,hlm.87.
[8]
Rasyad hasan Khalil, ibid,hlm.99-100.
[9]
Mohammad zuhri, Tarjamah tarikh Al-Tasyri Al-Islami, Darul
ikhya,hlm.283-292.
[10]
Roibin,penetapan hukum Islam, uin maliki press,cet ke-1,2010,hlm.53-54.
[11]
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Sinar Grafika Offset, cet
ke-2,2010, hlm.101.
[12]
Ibid,hlm.79-83.
[13]
Ibid, hlm.84-85.
[14]
Taufik adnan amal, politik syariat islam, pustaka alvabet, cet ke-1,hlm.168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar