Kamis, 29 Januari 2015

Sejarah Hukum Islam

  
HUKUM ISLAM PADA MASA TABI’IN
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN GOLONGAN POLITIK






Disusun dan di Ajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata kuliah : Sejarah Hukum Islam
Dosen pengampu : Drs. H. Syufa’at, M.Ag

Disusun oleh :

Nur Wahid                                                1223202013

Semester III/ Syari’ah/ Muamalah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2013








HUKUM ISLAM PADA MASA TABI’IN
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN POLITIK

PENDAHULUAN
Manusia sudah mengenal syariat sejak zaman dahulu kala. Bahkan sebuah sebuah peradaban juga memerlukan aturan. Ini karena syariat dengan segala perangkatnya merupakan perkara penting dan aturan utama yang menjadi kebutuhan demi keberlansungan kehidupan manusia sekaligus menjadi kaidah dasar dalam mengatur hubungan sesama manusia, menjadi satu keniscayaan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, menjadi sebuah keharusan untuk menghasilkan pertumbuhan dan kesatbilan dalam menjalin berbagai bentuk hubungan sesame manusia dalam setiap aspek kehidupan.
Jika manusia menjalankan urusannya tanpa aturan syariat sebagai paying hokum, niscaya akan terjadi konflik dan hubungan social terputus, dengan landasan ini, mengapa syariat islam perlu mendapat perhatian khusus dari semua orang dan tidak memandang golongan social, karena syariat selain memiliki peran yang efektif dalam mengatur urusan, menjamin kelanggengan hubungan social, ia juga dapat mewujudkan keamana dan kesabilan.
Sejarah manusia pernah mengenal berbagai bentuk syariat yang dimiliki oleh umat-umat islam terdahulu. Diantaranya ada yang berbentuk wahyu, dan ada juga yang merupakan hasil kreasi/ciptaan. Syariat Islam lengkap orisinil, valid, dan benar maka menjadi satu kewajiban dalam setiap aspek agar mempelajari dan mengetahui sejarah perkembangan syariat yang agung ini, menelusuri fase-fase yang ada dan mengenal sumber hokum Islam, mempelajari mazhab-mazhab ijtihad yang ada serta kaidah dan teori yang dihasilkan. Maka dari itu dalam makalah ini saya mencoba memaparkan tentang hokum Islam pada masa Tabiin dan pertumbuhan-perkembangan golongan politik. Semoga ini menjadi acuan untuk menjadi insan al-kamil Amin.
HUKUM ISLAM PADA MASA TABIIN
          PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN POLITIK

A.  MASA SIGHOR SAHABAT DAN TABI’IN
Walaupun sahabat dan Tabi’in merupakan dua generasi dari umat yang berbeda, namun karena pada kenyataannya kehidupan mereka (pasca Nabi wafat) begitu menyatu, dalam arti dimana ada sahabat disitu ada tabi’in dan disitu pula ada hadits.[1]
Banyak pendapat yang menyebutkan bahwa fase sesudah khulafa’ur Rasyidin merupakan fase sahabat kecil dan fase tabi’in[2]Periode ini dinamai sighor (yunior) sahabat karena perkembangan hukum islam berawal dari mereka setelah wafatnya sahabat yang bergelar Al-Khulafa Ar Rasyidin. Dari para sahabat yunior ini, fiqih dikembangkan oleh Tabi’in terkemudian.
Ibnu Qayim mencatat bahwa periode sighor dan Tabi’in disebarkan oleh empat pengikut fuqaha terkemuka yaitu pengikut Ibn Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Orang-orang Madinah, misalnya banyak mendapat fiqh dari pengikut-pengikut Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar, orang-orang Mekah diwarisi oleh fiqh Abdullah bin Abbas dan orang-orang Irak diwarisi oleh Ibnu mas’ud.
Pada awalnya, kebanyakan dari mereka tinggal di madinah, setelah kekuasaan Islam bertambah luas, mereka tinggal berpencar diberbagai tempat. Maka dari itu pembentukan hukum pada masa ini dengan melalui Ijma, kemudian mereka melakukan Ijtihad perorangan.
Periode ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656 M), khalifah ketiga, para sahabat sudah tersebar di berbagai daerah yang ditaklukan Islam. Tiap-tiap sahabat mengajarkan Al-Quran dan Hadits Muhammad SAW, kepada penduduk setempat. Di Irak sahabat yang dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bi Mas’ud, sedangkan Zaid bin Sabit (11 SH/611)-45H/665 M) dan Abdullah bin Umar di Madinah, dan Ibnu Abbas di Mekah, masing-masing sahabat menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyarakat setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan para tabi’in. Tabiin adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak darinya.
Dari penjelasan ini jelas bahwa tabi’in tidak harus melihat baginda Rasulullah sebab jika ia melihatnya, itu artinya ia termasuk sahabat Rasulullah. Selain itu juga tidak disyaratkan harus bertemu dengan sahabat seperti yang dikuatkan oleh ulama hadits, tidak disyaratkan harus meriwayatkan hadits dari seorang sahabat, namun cukup hanya melihat dan bertemu ketika ia berusia Tamyiz (baligh).
Al-Quran telah mengabadikan kedudukan dan keagungan para tabi’in dalam Q.S At-Taubat Ayat:100) dimana Allah menyediakan pahala yang besar bagi mereka yang mengikuti para sahabat dengan ihsan dan inilah salah satu bentuk sanjungan dan penghormatan Allah bagi sahabat dan para tabi’in.
Terkait masalah ini baginda Rasulullah pernah Bersabda, bahagialah bagi yang pernah melihat dan beriman kepdaku, dan bahagialah bagi yang pernah melihat siapa yang melihatku dan juga orang-orang yang melihat siapa yang pernah melihatku, bahagialah mereka dan baiklah tempat kembalinya.[3]
Para tabi’in ini yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyab (15 H-94 H) di madinah, Atha bin Abi Rabah (27 H-114 H) di Mekah, Ibrahim An-Nakhai (w. 76 H) di Kufah, Al-hasan (21 H/642 M-110 H/728 M) di Basrah Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Kemudian mereka menjadi guru yang terkenal di daerahnya dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat. Persoalan yang mereka hadapi berbeda-berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat[4].
B.  PRODUK HUKUM PADA MASA TABI’IN
Dari perbedaan metode yang di kembangkan para sahabat ini muncullah dalam fiqh Islam Madrasah Alhadits (madrasah=aliran) dan madrasah Ar-Ra’yu. Madrasah Al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan madrasah Al-Iraq dan madrasah Al-Kufah.
Secara garis besar aliran atau produk hukum islam pada decade awal dibedakan menjadi dua, yaitu aliran Madinah dan aliran Kufah (Irak). Aliran Madinah dipelopori oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di Madinah. Ulama yang terkenal sebagai pendiri Aliran Madinah adalah Fuqaha sab’ah yaitu: said Ibn Al-Musayyab (w.94 H), Urwah Ibn Az-Zubair (w. 94 H), Abu Bakar Ibn Abd Rahman Al-Harits Ibn Al-Makhzumi (w.94 H), Ubaid Allah Ibn Abdullah Ibn Utbah Mas’ud (w.98 H), Kharijah Ibn Zaid Ibn tsabit (w.99 H), Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr (w.107 H), sulaiman Ibna I-yasr (w. 107 H). Madrasah Madinah menurut Umar Sulaiman Al-Asyqar (1991:86), merupakan akar atau rujukan utama aliran maliki yang di dirikan oleh Imam Maliki.
Madrasah Ra’yu atau Madrasah Al-Kufah adalah sekelompok ulama yang tinggal di Kufah yang lebih banyak menggunakan Ra’yu di Banding dengan madrasah Madinah, sejak bebas untuk keluar dari Madinah banyak sahabat yang tinggal di Kufah. Diantara mereka adalah Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Sa’ad bin Abi Waqash, Amar Ibn Yasr, Khuzaifah Ibn Al-Yaman, dan Anas Ibn Malik. Jumlah mereka terus bertambah, terutama setelah terjadi pembunuhan terhadap Usman Ibn Affan hingga mencapai tiga ratus orang.
Kedua aliran diatas menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah Al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits, disamping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahan tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Adapaun Madrasah Al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW, yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas ataupun kuantitas, di bandinkan dengan yang dihadapi madrasah Alhijaz. Ulama Hijaz berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya Homogen, sedangkan Ulama Irak berhadapan dengan masyarakat yang relative majemuk, maka tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.[5]
C.  SUMBER HUKUM PADA MASA TABI’IN
Pelaksanaan syari’ah pada hakikatnya sering merupakan bagian dari nazhar fil mazhalim.[6]Sumber hukum pada masa ini adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan beberapa metode istinbath hukum seperti: Istidlal, Istishab, fatwa Sahabat, urf, mashalih al-mursalah, saddu adz-dzari’ah dan syariat sebelum Islam[7].
1.    Al-Quran, terdapat banyak perbedaan dalam menafsirkan nash-nash yang tidak qath’I interpretasinya yang sebelumnya tidak terjadi pada zaman sahabat. Hal tersebut dikarenakan para fuqaha generasi ini tidak melihat langsung turunya Al-Quran.
2.    As-Sunnah, mereka lebih banyak menggantungkan diri dengannya dibandingkan pada zaman sahabat, terutama setelah menyebar periwayatan hadits dan banyaknya fuqaha yang memberi fatwa
3.    Ijma, pada zaman ini terjadi perbedaan tentang ijma yang dapat di jadikan sumber hukum, yaitu kesepakatan semua mujtahid. Namun zaman ini ijma banyak mengalamidekresi uergensi sebagai sumber hukum bagi fiqh Islam.
4.    Qiyas, terjadi perbedaan tentang legalitasnya seperti yang sudah kami jelaskan, namun mayoritas ulama tetap menggunakannya walaupun, walau lebih condong memperkecil ruang qiyas kecuali jika terpaksa[8].
D.  KEISTIMEWAAN PERIODE TABI’IN
1.    Mempunyai pengaruh yang besar dalam istimbath.
2.    Tersebarnya ulama muslimin dalam Negara-negara Islam
3.    Tersiarnya riwayat hadits.
4.    Munculnya sejumlah besar dari para maula yang belajar.
5.    Adanya pertentangan pendapat dan hadits serta munculnya penolong dimasing-masingnya.[9]
E.  PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM PADA MASA TABIIN
Pertumbuhan hukum pada masa tabiin telah berkembang dengan pesat, sehingga pada masa in, juga disebut dengan masa keemasan bagi umat islam. Periode tabiin simulai pada awal abad ke-2 H dan berakhir pada abad ke-4 H. kurang lebih periode ini berjalan sekitar 200 tahun, fase ini dinamai dengan periode pembukuan dan pembangunan mazhab, selain itu fase ini juga dikenal dengan fase imam-imam mujtahidin. Beberapa factor penyebab umat Islam dapat mencapai zaman keemasan antara lain adalah:
1.    Kekuasaan Telah Mengalami Perluasan
Pemerintahan pada masa tabiin ini mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat, sehingga wilayah kekuasaanya sudah meliputi berbagai macam bangsa. Oleh kerena itu para ulama mencurahkan tenaganya untuk mengembalikan persoalannya pada sumber hukum islam, serta memegang teguh nash-nash syariat dan juga hukum yang dibutuhkan oleh pemerintah berupa kemaslahatan-kemaslahatan dan keperluan hidup.
2.    Para Ulama mempunyai Ilmu yang mendalam
Para tabiin telah mengetahui bahwa jalan peundang-undangan sudah terbentang. Sementara kesulitan hukum sudah bias diatasi, hal ini disebabkan mereka telah memperoleh hukum syariat ditangan mereka. Al-Quran sudah dibukukan dan sudah berkembang luas dikalangan umat islam, sedangkan sunnah juga telah dibukukan sejak awal abad kedua Hijriah.
3.    Umat Islam pada periode ini kuat menjaga diri
Pengetahuan dan kemantapan iman umat islam pada masa ini semakin kuat, mereka mengembalikan semua persoalan yang bersifat umum dan detail kepada orang yang ahli ilmu dalam hukum Islam yaitu para mujatahidin.
4.    Munculnya Para imam mazhab yang ikut Menegakan Ajaran Islam
Lahirnya para tokoh dari masyarakat juga ikut berjuang dalam mempertahankan nilai-nilai syariat Islam. Semisal Abu hanifah, Syafi’i, Maliki, Hanbali. Begitu juga pemuka-pemuka lain yang sezaman dengan beliau itu dari kalangan para imam dan mujtahidin[10].
Karakteristik Fiqh:
Sumber fiqh pada masa tabiin masih terbatas pada Al-Quran, sunnah, ijma, dan logika tetapi ada sedikit perubahan dalam aspek penggunaanya dan mempunyai karakteristik yaitu:
a)    Munculnya beberapa manhaj (metode) kajian fiqh yang bersih;
b)   Sinergitas antara para mawali (keturunan hamba sahaya);
c)    Perhatian terhadap as-Sunnah;
                             i.     Meluasnya periwayatan hadits
                           ii.     Mengumpulkan sunnah dan riwayat para sahabat
                         iii.     Pembukuan sunnah
                         iv.     Membendung pemalsuan hadits.
d)   Terpengaruhnya beberapa sumber hukum denga pergolakan politik seperti ijma.
e)    Munculnya fiqh iftiradhiy (andaian) yan dibawa oleh ulama ahli ro’yi
f)    Perbedaan dala masalah furu fiqhiyah yang disebabkan oleh perbedaan politik.[11]


F.   PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN POLITIK
Pertumbuhan dan perkembangan politik pada masa tabiin dimulai dari perbedaa antara kaum muslimin tentang maslah khilafah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib telah mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah menjadi tiga golongan:
1.    Khawarij, dengan doktrin:
1)   Menjadikan khilafah sebagai hak setiap muslim, dan tidak terbatas untuk ahlil bait dan Quraisy.
2)   Khawarij mengingkari qiyas
3)   Sebagian ada yang mengingkari hukum syariat.
2.    Syiah, dengan doktrin:
1)   Membolehkan nikah mut’ah
2)   Mengharamkan orang muslim menikahi ahlil kitab
3)   Mengambil sunnah sebagai sumber hukum dari periwayatan ahlil bait
4)   Mayoritas menolak qiyas
3.    Jumhur kaum muslimin, yaitu orang yang bersikap abstain (apolitis) dan tidak ikut-ikutan terjun ke dalam pergolakan politik.[12]
Dengan cara ini kota madinah menjadi satu-satunya ibukota ilmu dan politik bagi Negara islam karena para sahabat menetap didalamnya. Disamping itu Allah juga member sebagian mereka cara berfikir yang brilian, kapasitas dan kemampuan keilmuan dalam memahami hadits dan ayat, menekuni berbagai jenis ilmu dan cabangnya walaupun mereka memiliki daya hafal, jumlah periwayatan, intelektualitas, dan linguistic yang berbeda, oleh karena itu, mereka akan lebih mudah untuk bersepakat dengan apa yang ada di pihak yang lain.
Keadaan in terus berlanjut sampai pada masa tabiin dimana sahabat menyebar keseluruh pelosok negeri untuk mengatur urusan pemerintahan. Perbedaan adat istiadat, hubungan social, keadaan dan taraf hidup, jenis pekerjaan, ilmu dan wawasan telah memberika pengaruh yang besar terhadap perbedaan masalah fatwa dan politik pada suatu negeri dengan negeri yang lain.[13]
Ada beberapa hal yang perlu kita perjelas keberadaanya, baik dalam batasan wacana maupun realitas dalam politik islam. Pertama kelompok yang sengaja mempolitisasi islam. Muawiyah adalah aktualisasi yan paling transparan dalam mempolitisasi islam untuk sebuah ambisi politik yang didalam terdapat segenap instrik, konspirasi, kolusi dan kelicikan lainnya. Pada akhirnya semua itu bersatu dalam bentuk destruktif
 Kedua dugaan-dugaan politik yang ingin diislamkan.anggapan-anggapan dan dugaan-dugaan melumat semua kal sehat mereka. Kelompok ini sering disebut dengan falasi (kelompok sesat pikir). Golongan yang paling falasi adalah khawarij dan akhirnya mereka terjerumus dalam kesesatan. Ketiga etika dan roh politik islam. Kelompok ini adalah manusia Qurani dan sekaligus diwakili oleh Khalifah Ali bin Abi thalib.
Sejumlah factor adanya politik adalah Justifikasi keagamaan untuk kwajiban syariat Islam[14] dan Seseorang pada kondisi ini, harus membekali diri dengan hati yang bersih. Pada prinsipnya, islam menghindari kondisi-kondisi yang chaos, terutama chaos politik.



KESIMPULAN

Fase pengembangan dan penyempurnaan hukum islam mulai dari tahun 11 H sampai dengan akhir abad 14 H. tahapan-tahapan ini dimulai dari masa: 1) Masa Khulafa Ar-Rasyidin. 1) Masa Dinasti Umayyah. 1) Masa Bani Abasiyah.
Tabiin adalah setiap muslim yang belum sempat melihat Nabi Muhammad SAW namun ia sempat melihat dan bertemu dengan sahabat, baik ia meriwayatkan atau tidak darinya.
Pertumbuhan hukum pada masa tabiin telah berkembang dengan pesat, sehingga pada masa in, juga disebut dengan masa keemasan bagi umat islam. Periode tabiin simulai pada awal abad ke-2 H dan berakhir pada abad ke-4 H. kurang lebih periode ini berjalan sekitar 200 tahun.
Beberapa factor penyebab umat Islam dapat mencapai zaman keemasan antara lain adalah: 1) Kekuasaan Telah Mengalami Perluasan. 2) Para Ulama mempunyai Ilmu yang mendalam. 3) Umat Islam pada periode ini kuat menjaga diri. 4)Munculnya Para imam mazhab yang ikut Menegakan Ajaran Islam.
Pertumbuhan dan perkembangan politik pada masa tabiin dimulai dari perbedaa antara kaum muslimin tentang maslah khilafah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib telah mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah
Dengan cara ini kota madinah menjadi satu-satunya ibukota ilmu dan politik bagi Negara islam karena para sahabat menetap didalamnya. Disamping itu Allah juga member sebagian mereka cara berfikir yang brilian, kapasitas dan kemampuan keilmuan. Keadaan in terus berlanjut sampai pada masa tabiin terhadap perbedaan masalah fatwa dan politik pada suatu negeri dengan negeri yang lain.



DAFTAR PUSTAKA

Hasan Khalil, Rasyad. 2010. Tarikh Tasyri’. Jakarta: Sinar Grafika offset.
Roibin. 2010. Penetapan Hukum Islam. Malang: UIN-maliki press.
Jafri, SHM. 2003. Moralitas Politik Islam. Jakarta: Pustaka Zahra.
Naim, Ngainun.2003. sejarah pemikiran hukum Islam. Yogyakarta: Teras.
Supriyadi, Dedi.2010.Sejarah hukum Islam. Bandung: CV PSTAKA SETIA.
Zuhri, Mohammad. Tarjamah tarikh Tasyrik Al-Islami.Semarang: Daarul ihya.
Dailamy.  2010.hadits semenjak disabdakan sampai dibukukan.  Purwokerto: stain purwokerto press.
Adnan amal, Taufik. 2004.politik syariat islam. Jakarta: Pustaka alvabet.
Schacht,Joseph.1997. pengantar hukum islam. Oxford:clarendon press.


[1] Dailamy, Hadits semenjak disabdakan sampai dibukukan, stain purwokerto press, cet ke-1,hlm.91.
[2] Ngainun Naim,sejarah pemikiran hukum islam, Teras,cet ke-1, hlm.73.
[3] Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Sinar Grafika Offset, cet ke-2,2010, hlm.77-79.


[4] Dedi Supriyadi, sejarah Hukum Islam, Pustaka Setia,cet ke-2, hlm.82-84.
[5] Dedi Supriyadi, ibid,hlm.84-87.
[6] Joseph Schacht, pengantar hukum islam,clarendon press, cet ke-73.
[7] Dedi Supriyadi,ibid,hlm.87.
[8] Rasyad hasan Khalil, ibid,hlm.99-100.
[9] Mohammad zuhri, Tarjamah tarikh Al-Tasyri Al-Islami, Darul ikhya,hlm.283-292.
[10] Roibin,penetapan hukum Islam, uin maliki press,cet ke-1,2010,hlm.53-54.
[11] Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Sinar Grafika Offset, cet ke-2,2010, hlm.101.

[12] Ibid,hlm.79-83.
[13] Ibid, hlm.84-85.
[14] Taufik adnan amal, politik syariat islam, pustaka alvabet, cet ke-1,hlm.168.

Kamis, 22 Januari 2015

Makalah Ushul Fiqih


KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS
DALAM HUKUM ISLAM


Disusun dan di Ajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata kuliah : Ulumul Hadits
Dosen pengampu : Drs. H. Khariri, M.Ag.

Disusun oleh :
Anisatul Ma’rifah                                     1223202002
Nur Wahid                                                            1223202013
Tri Hartati                                                 1223202030


Kelompok I

Semester II/ Syari’ah/ Muamalah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Hadits adalah teks normative kedua setelah Al-Qur’an yang mewartakan prinsip dan doktrin agama Islam. Ilmu hadits sangat besar manfaatnya dan sangat penting kedudukannya bagi Umat Islam. Yang menjadi masalah, kebanyakan masyarakat luas di zaman sekarang ini tidak mempunyai perhatian yang penuh dan tidak memperdalami ilmu-ilmu hadits, seakan-akan mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an yang merupakan teks normative pertama yang bersumber dari Kalamullah sehingga kebenarannya mutlak tidak ada keraguan lagi.
Hadits sama pentingnya dengan Al-Qur’an, yang seharusnya oleh umat Islam dijaga kemurniannya dan menerapkan fungsi dan kedudukan hadits sebagaimana mestinya. Maka umat Islam wajib mempelajari, memahami, mengamalkan ilmu-ilmu hadits.
Untuk membedakan anatara hadits shahih, hadits hasan, hadits dhaif perlu adanya pembelajaran yang lama dan intens, agar dalam pengamalan hadits tidak salah, karena terjadinya perbedaan pendapat, perselisihan antar mubaligh di timbulkan kurang pahamnya golongan-golongan hadits.
Maka dari itu Ulumul hadits atau ilmu-ilmu hadits dan cabang-cabang ulumul hadits menjadi kajian pembelajaran yang sangat penting, baik di lembaga pendidikan maupun di lembaga kemasyarakatan. Agar nantinya bisa menyadari betapa pentingnya ilmu-ilmu hadist dan mampu memposisikan hadits sebagai dasar hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an.

B.     Rumuasan Masalah
1.    Bagaimana kedudukan hadits terhadap sumber hukum Islam?
2.    Apa fungsi hadits terhadap sumber hukum Islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kedudukan Hadits dalam Hukum Islam
Hadits atau Wahyu ghairu matluw, demikian menurut terminology Muhammad Abu Zahw, pada masa Nabi masih hidup merupakan sumber hukum atau perundang-undangan Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Hanya saja dalam sejarah perkembangan pemikiran, kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam mulai diperbincangkan. Pro dan kontra muncul. Diskusi-diskusi dengan topik peran dan kedudukan hadits mulai terlihat. Dalam sejarah pemikiran, muncul usaha-usaha untuk mempertemukan pendapat yang pro dan kontra, sebagaimana yang dirintis oleh Muhammad Nashir al-Din al-Albaniy. Pendapat-pendapat yang muncul sekitar kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
1.    Kelompok yang meyakini hadits sebagai sumber hukum Islam.
Jumhur umat Islam berkeyakinan bahwa mengikuti Rasulullah adalah wajib hukumnya, sesuai dengan firman Allah Q. S An-Nisa ayat 64
وَمَااَرْسَلْنَامِنْ رَسُوْلٍ اِلَّألِيُطَاعَ بِاِذْنِ الله                   
Artinya:” Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah
Dengan demikian, menjadilah hadits dengan serta merta menjadi sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an, menjadi hal yang mustahil bagi seseorang dapat mengikuti Rasulullah tanpa adanya hadits-hadits Rasulullah itu sendiri. Muhammad abu Yahw berpendapat bahwa kewajiban mengikuti Rasulullah merupakan sesuatu hal yang telah disepakati (ijma) oleh umat Islam. Kejelasan ketentuan-ketentuan tersebut, tidak lagi membutuhkan takwil dan tidak mungkin bisa terlaksan tanpa menggeluti sunnah Rasul dan mengamalkan hadits-haditsnya.[1]

Beberapa alasan hadits atau sunnah diletakan sebagai sumber hukum Islam yang kedua, Yaitu:
a.     Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an itu sendiri, yaitu:
فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءِفَردّوْهُ اِلَى اللهَ واَلرَّسُوْل
Artinya:” kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah Nabi)
b.    Berdasarkan petunjuk Hadits Rasul
عَنْ عَبْد اللّه أبى عَمرِعوف عن ابِيهِ عَن جدِّهِ انَّ رسول الله ص م قال: تَرَكْتُ فيكُمْ امَرَبْنِ لَنْ ثَضِلُواماتمَسّكْتُمْ بِهِما كتا بُ الله وسنّتِى
Artinya:” dari Abdullah bin Amr bin Auf, dari Ayahnya, dari kakeknya, bahwa beliau Rasulullah SAW, telah bersabda: Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara, yang tidak akan tersesat kamu selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnahku.”
c.    Berdasarkan nilai keorisinilan dokumen dan historis kodifikasinya.
Maksudnya, bahwa bila ditinjau dari segi sejarah dan orientalisnya, maka matan atau materi Al-Qur’an (juga hadits Mutawatir lafdzy) berkedudukan اَلْقَطْعِىُ الوُرُوْد atau القَطْعِىُ النُبُوت yakni, riwayat yang penetapanya telah diyakini kebenarannya. Sedang untuk hadits (yang bukan Mutawatir) berkedudukan: الطَنِىُ الورُود  atau الطَنِىُ النُبُوت yakni riwayat yang penetapannya, diduga keras kebenarannya. Adapun dari segi “dalalahnya” baik Al-Qur’an maupun hadits sama-sama ada yang: القَطْعيَةُ الذِلالةُ (ketetapan yang ditunjuki oleh dalil yang meyakinkan kebenarannya); ada yang: المُطَبِيَةُالذِلاَلة (ketetapan yang ditunjuki oleh dalil, yang baru pada tingkat dugaan keras tentang kebenarannya).
d.   Berdasarkan logika
Bahwa Al-Qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta, sedang Hadits berasal dari hamba dan utusan-Nya, maka sudah selayaknya bahwa yang berasal dari sang Pencipta itu lebih tinggi kedudukannya daripada yang berasal dari hamba atau utusan-Nya.
e.    Petunjuk Nabi.
Bahwa Rasulullah saw. Ketika akan mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda: bagaimana kamu mengadili bila dihadapkan kepadamu suatu masalah hukum? Mu’adz menjawab: Saya menghukum berdasarkan kitabullah. Rasulullah bersabda: Dan jika tidak ada dalam kitabullah?. Mu’adz menjawab: maka dengan sunnah Rasulullah saw. Rasulullah bersabda lagi: Bila tidak ada juga dalam sunnah Rasulullah dan dalam Kitabullah?. Mu’adz menjawab: saya akan berijtihad dengan pikiran saya sekuat mungkin. Maka Rasulullah menepuk dada Mu’adz seraya bersabda: segala puji bagi Allah yang telah member petunjuk kepada utusan dari utusan Allah kea rah yang diridhai oleh utusan Allah”.
Kandungan materi hadits, yaitu:
1)      Berisi tentang sejarah
Yakni sejarah (biografi) Rasul keadaan para sahabat dan usaha yang telah dilakukan oleh  Rasul dan Sahabatnya di zamannya.
2)      Berisi akhlaq
Yakni tentang budi pekerti yang terpuji sesuai dengan fitrah manusia.
3)      Berisi aqidah
Yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan. Al-Qur’an telah menetapkan tentang dasar-dasarnya. Kemudian hadits shahih hanyalah merupakan pengokohan atau penjelasan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an. Apabila ada hadits dalam masalah aqidah bertentangan dengan Al-Qur’an maka hadits itu palsu, yang tidak boleh dipakai. Karena itu jumhur ulama menetapkan bahwa hanya Al-Qur’an dan hadits Mutawatir saja yang dapat dipakai untuk menetapkan aqidah. Alasannya: Aqidah itu harus berdasarkan keyakinan (qath’iyul wuwrud). Sedang keyakinan itu harus diperoleh melalui Al-Qur’an dan hadits
4)      Berisi hukum, baik soal ubudiyah soal muamalah.
Pikiran yang menjadikan hadits bersama Al-Qur’an merupakan kesatuan tak terpisahkan sebagai sumber hukum dalam Islam, kelihaurtannya memang bisa diterima akal. Tetapi masalahnya tidak sederhana itu, mengingat banyak ayat al-Qur’an yang turun tanpa penjelasan lebih lanjut dari hadits. Di lain pihak tidak sedikit kita temukan hadits yang bertentangan dengan al-Qur’an. Adapula hadits yang memerintahkan sesuatu, sedangkan al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali.[2]

2.    Kelompok yang meyakini hadits bukan sebagai sumber hukum Islam.
Kelompok yang meyakini hadits bukan sebagai sumber hukum Islam, lebih popular dengan sebutan Inkar Al-Sunnah. Kelompok ini muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran orang-orang Islam itu sendiri. Boleh jadi embrio kelompok ini telah muncul sejak Rasulullah masih hidup. Tidak menutup kemungkinan hadits yang berbunyi:
لاَالَلْفَيَنَّ احَدُكُم مُتَكِءَاعَلَىْ اَرِيْكَتِهِ يأْتِيْهِ اْلاَمْرِ مِنْ امْرِيْ مِمَّا اُمِرْتُ اَوْنُهِيْتُ عَنْهُ فَيَكُوْلُ لاَنَدْرِىْ مَاوَجَدَنَا فِى كِتَابِ اللهِ اتْبَعْنَاه

Artinya.” Aku tidak akan merasa belas kasihan terhadap orang-orang yang tidur-tiduran saja, diatas tempat tidurnya (pemalas) yang jika dating kepadanya sesuatu yang aku perintahkan atau aku larang, dia berkata,”Saya tak mau tahu, saya hanya mengikuti apa-apa yang ada dalam al-Qur’an.

Hadits ini pada awalnya dihadapkan pada mereka. Tidak mustahil pula bahwa gerakan gerakan penentang membayar zakat pada zaman khalifah Abu bakar merupakan perkembangan embrio tersebut, dikarenakan mereka berkeyakinan bahwa khalifah Abu Bakar tidak memiliki otoritas untuk memungut harta zakat. Barangkali juga ada munasabahnya jika pernyataan Umar bin Khatab yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, ada kaitannya dengan merebaknya gerakan inkar al-Sunnah.
Inkar al-Sunnah lebih merupakan gerakan pemikiran. Gerakan ini memcuat ke permukaan secara riil, setelah Rasyid Ridla (1865-1935 M) memuat tulisan Taufiq Sidqi dalam majalah al-Manar yang dipimpinnya. Tulisan Taufiq Shidqi tersebut berjudul, al-Islam Huwa al-Qur’an Wahdah. Sebenarnya pikiran inkar al-Sunnah telah muncul sebelumnya (di bawah tanah), yakni pada zaman imam al-Syafi’iy masih hidup. Kitab al-Risalah salah satu karya al-Syafi’iy, ditulis sebagai jawaban secara sistematis dan akademis, atas hujjah inkar al-Sunnah.
Dalam menegakan hujjahnya, inkar al-Sunnah menempuh dua cara, yakni:
1)      Mengkonter alasa-alasan ulama Jumhur pendukung al-Sunnah.
2)      Mengajukan argumentasi baru, yang menurut mereka lebih kuat, bahwa hadits adalah bukan sumber hukum dalam Islam.

Kelompok inkar al-Sunnah, dengan berbagai argumentasinya telah dengan tegas menolak hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam. Kelompok ini tidak menghargai sedikitpun inisiatif Rasul dalam mengaktualisasikan ajaran Islam.[3]




B.     Fungsi Hadits dan Hubungannya dengan Al-Qur’an
Hadits sebagai teks normative kedua setelah Al-Qur’an yang menjadi prinsip dan dasar ajaran Islam, maka fungsi hadits adalah sebagai penjelas (mubayyin) isi Al-Qur’an sesuai dengan firman Allah SWT.

بِاْلبيّننَتِ والزُّبُرِواَنْزَلْنَا اِلَيْكَ اَّلذَكْرَلِتُبَيِّنَ للنَّاسِ مانُرِّلَ الَيْهِمْ وَلَعَلَّهُم يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya:” Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. An-Nahl:44).[4]
Dari firman Allah diatas menjelaskan bahwa fungsi hadits sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Apabila disimpulkan, fungsi hadits dalam hubungannya dengan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1.    Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud dengan Bayan At-Tafsir adalah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal, dan musytarak. Fungsi hadits dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhshih ayat-ayat yang masih umum.
Contoh Bayan At-Tafsir mujmal untuk menjelaskan Shalat, puasa, zakat, dan haji. Kita diperintahkan shalat, namun Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaanya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW, dengan sabdanya,
صَلُّوْا كَمَارَأَيْتُمُوْنِيْ اُصلِّي (رواه البخاري)
Artinya:” Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. (H.R. Bukhari).
Sebagaima hadits tersebut, Rasul memberikan contoh tata cara shalat yang sempurna. Bukan hanya itu, beliau juga melengkapi dengan berbagai kegiatan yang dapat menambah pahala ibadah shalat.
Diantara contoh-contoh Bayan At-Tafsir musytarak fihi, adalah menjelaskan tentang ayat-ayat quru’. Allah SWT. Berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 228, yang artinya:”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Mahabijaksana.          
Untuk menjelaskan quru’ ini, datanglah hadits Nabi SAW,
طَلاَقُ اْلاَمَةِاِثْنَتَانِ وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ(راوه مجة)
Artinya:”Talak budak dua kali dan iddahnya dua haid. (H.R. Ibnu Majah).
Sehingga arti perkataan quru’ dalam ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 228 berarti suci dari haid.
Contoh hadits Rasulullah SAW, yang men-taqyid ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain hadits,
اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمانِ فَاَمَّا اْلمَيْتتَانِ اْلحُوْتُ وَاْلجَرَدْ وَاَمَّاا لدِمَانِ فَالكبِدُوَ الطِّحَال.
Artinya:”Telah dihalkan bagi kamu dua (macam) bangkai dan dua (macam) darah. Adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.
Hadits ini men-taqyid ayat Al-Qur’an yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S. Al-Maidah ayat 3, yang artinya:”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah
Contoh hadits yang berfungsi untuk men-takhshis keumuman ayat-ayat Al-Qur’an adalah hadits Nabi SAW, berikut ini,
لاَبَرِثُ اْلقَاتِلُ مِنَ اْلمَقْتُوْلِ شَيْأَ(رواه احمد)
Artinya:”Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan. (H.R. Ahmad).
Hadits tersebut men-takshis keumuman firman Allah SWT, Q.S. An-Nisa ayat 4, yang artinya:”Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
2.    Bayan At-Taqrir
Bayan At-taqrir atau sering juga disebut dengan Bayan At-Ta’kid dan Bayan al-Itsbat adalah hadits yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an.
Contoh Bayan At-Taqrir, dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 185, yang artinya:”Karena itu barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa….
Ayat diatas di-taqrir oleh Nabi SAW, berikut ini,
اِذَارَاَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَاِذَارَاَيْتُمُوْهُ فَاَفْطِرُوْا(رواه مسلم عن ابن عمر)
Artinya:”Apabila kalian melihat (Ru’yat) bulan, berpuasalah, begitu pula apabila melihat (ru’yat) bulan itu, berbukalah. (H.R. Muslim dan Ibnu Umar).
Menurut sebagian ulama, Bayan taqrir atau bayan ta’kid ini disebut juga bayan al-muwafiq li nash al-kitab al-karim. Hal ini karena hadits-hadits ini sesuai dan untuk memperkokoh nash Al-Qur’an.
3.    Bayan An-Nasakh
Secara bahasa, an-naskh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-taghyir (mengubah). Para ulama, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin berbeda pendapat dalam mendefinisikan bayan an-nasakh. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan mereka dalam mendefinisikan kata nasakh dari segi kebahasaan.
Menurut ulama mutaqaddimin, yang dimaksuddengan bayan an-nasakh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dari pengertian tersebut, menurut ulama yang setuju adanya fungsi bayan an-nasakh, maka hadits merupakan ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi Al-Qur’an yang datang kemudian.dalam hal ini mereka terbagi kedalam tiga kelompok.
a.       Kelompok yang membolehkan me-naskh Al-Qur’an dengan segala hadits, meskipun hadits ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian besar pengikut Zhahiriyah.
b.      Kelompok yang membolehkan me-naskh dengan syarat hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya di pegang oleh Mu’tazilah.
c.       Kelompok ulama yang membolehkan men-naskh dengan hadits masyhur, tanpa harus dengan mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh ulama Hanafiyah.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama adalah sabda Rasul SAW. Dari Abu Umamah Al-Bahili,
اِنَّ اللهَ قَدْ اَعْطَى كُلَّ ذِى حَقِّ حقَّهُ فَلاَوَصِيَّةّ لِوَارِثِ(رواه احمد والاربعة الاالنسأئ)
d.      Artinya:”Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H.R. Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa’i. hadits ini dinilai hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi).
Hadits ini menurut mereka men-naskh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180, yan artinya:”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasar Q.S.Al-Baqarah ayat180 diatas, di-naskh hukumnya oleh hadits yang menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.[5]
Menurut imam al-Syafi’iy secara sistematis fungsi hadits dibagi menjadi tiga kelompok, yakni:
1)      Menjadi penjelas Nabi yang bersesuaian dengan penjelasan Al-Qur’an. Jika pesan-pesan hadits sama dengan apa yang disampaikan Al-Qur’an, maka pesan-pesan sepertin ini dimaksudkan untuk memperkuat apa yang telah dipesankan Al-Qur’an.
2)      Sebagai penjelas terhadap apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Menurut Rifa’at Fauzi bentuk-bentuk pejelasan hadits terhadap Al-Qur’an model ini ada empat macam, yaitu: tafshil al-mujmal, Taudlih al-Mubham, takhshih al-am, dan taqyid al-mutlaq.
3)       Hadits sebagai pejelas tambahan terhadap sesuatu yang tidak dijelaskan Al-Qur,an. Menurut Muhammad Abu Zahw menjelaskan bahwa kadang hadits membawa pesan yang baru yang sebelumnya sama sekali tidak disinggung oleh Al-Qur’an. Tanggapan ulama sebagai berikut: Ulama Hadits, semua itu merupakan hukum baru yang harus diikuti ooleh umat Islam, sesuai dengan keyakinannya bahwa mengikuti Rasul hukumnya wajib. Ulama Usul, apa yang ditetapkan Rasul bukanlah hal yang baru, walau al-Qur’an tidak menetapkannya karena pada hakikatnya apa yang ditetapkan oleh hadits merupakan penjabaran dari Al-Qur’an.[6]

PENUTUP

Dari aspek pembahasan materi tentang kedudukan dan fungsi hadits dalam hukum Islam dapat disimpulkan bahwa kedudukan hadits adalah sebagai teks normative kedua setelah Al-Qur,an yang mewartakan prinsip dan doktrin sumber hukum Islam. Walau begitu ada beberapa kelompok yang meyakini bahwa hadits bukan sumber hukum Islam, kelompok ini disebut kelompok inkar al-Sunnah. Inkar al-Sunnah merupakan gerakan pemikiran. Kelompok inkar al-Sunnah ini dipelopori oleh Rasyid Ridla.
Sedangkan fungsi hadits adalah sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas. Sedangkan menurut sistematisasi Imam al-Syafi’I, fungsi hadits yaitu:
1.       Penjelasan Nabi yang bersesuaian dengan penjelasan al-Qur’an.
2.       Penjelasan Nabi terhadap apa yang dikehendaki oleh al-Qur’an.
3.       Penjelasan Nabi sebagai tambahan terhadap sesuatu yang tidak dimuat dalam al-Qur’an.
Pikiran yang menjadikan hadits bersama Al-Qur’an merupakan kesatuan tak terpisahkan sebagai sumber hukum dalam Islam, kelihaurtannya memang bisa diterima akal. Tetapi masalahnya tidak sederhana itu, mengingat banyak ayat al-Qur’an yang turun tanpa penjelasan lebih lanjut dari hadits. Di lain pihak tidak sedikit kita temukan hadits yang bertentangan dengan al-Qur’an. Adapula hadits yang memerintahkan sesuatu, sedangkan al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali.








DAFTAR PUSTAKA


Dailamy. 2010. Hadits Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.

Hashim Kamali, Muhammad. 1991. Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul al-Fiqih). Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Circle for The Qur’an and Humanity Studies.

Ismail, Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Penerbit Angkasa.

Solahudin, Agus dan Suyadi, Agus. 2011. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.





[1] H.M. Dailamy, Hadits Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan,) Purwokerto: STAIN Purwokerto Press,  2010), hlm. 31.
[2] M, Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadist, (Bandung: Angkasa,   ), hlm.45.
[3] H,.M. Dailamy, Hadist Semenhjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2010), hlm. 44.
[4] Drs. H. Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: PT DANA BHAKTI WAKAF, 1995), hlm. 92.
[5] M.Agus Solahudin, Agus Suryadi, Ulumul Hadits, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2011), hlm. 78.
[6] H.M. Dailamy, Hadits Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Purwokerto:  STAIN Purwokerto Press,  2010), hlm. 57.