KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS
DALAM HUKUM ISLAM

Disusun
dan di Ajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
kuliah : Ulumul Hadits
Dosen pengampu : Drs. H. Khariri, M.Ag.
Disusun
oleh :
Anisatul
Ma’rifah 1223202002
Nur
Wahid 1223202013
Tri Hartati 1223202030
Kelompok
I
Semester
II/ Syari’ah/ Muamalah
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hadits adalah
teks normative kedua setelah Al-Qur’an yang mewartakan prinsip dan doktrin
agama Islam. Ilmu hadits sangat besar manfaatnya dan sangat penting
kedudukannya bagi Umat Islam. Yang menjadi masalah, kebanyakan masyarakat luas
di zaman sekarang ini tidak mempunyai perhatian yang penuh dan tidak
memperdalami ilmu-ilmu hadits, seakan-akan mereka hanya berpedoman pada
Al-Qur’an yang merupakan teks normative pertama yang bersumber dari Kalamullah
sehingga kebenarannya mutlak tidak ada keraguan lagi.
Hadits sama
pentingnya dengan Al-Qur’an, yang seharusnya oleh umat Islam dijaga
kemurniannya dan menerapkan fungsi dan kedudukan hadits sebagaimana mestinya.
Maka umat Islam wajib mempelajari, memahami, mengamalkan ilmu-ilmu hadits.
Untuk membedakan
anatara hadits shahih, hadits hasan, hadits dhaif perlu adanya pembelajaran
yang lama dan intens, agar dalam pengamalan hadits tidak salah, karena
terjadinya perbedaan pendapat, perselisihan antar mubaligh di timbulkan kurang
pahamnya golongan-golongan hadits.
Maka dari itu
Ulumul hadits atau ilmu-ilmu hadits dan cabang-cabang ulumul hadits menjadi
kajian pembelajaran yang sangat penting, baik di lembaga pendidikan maupun di
lembaga kemasyarakatan. Agar nantinya bisa menyadari betapa pentingnya
ilmu-ilmu hadist dan mampu memposisikan hadits sebagai dasar hukum Islam kedua
setelah Al-Qur’an.
B.
Rumuasan
Masalah
1. Bagaimana
kedudukan hadits terhadap sumber hukum Islam?
2. Apa
fungsi hadits terhadap sumber hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan
Hadits dalam Hukum Islam
Hadits atau
Wahyu ghairu matluw, demikian menurut terminology Muhammad Abu Zahw, pada masa
Nabi masih hidup merupakan sumber hukum atau perundang-undangan Islam yang
kedua setelah Al-Qur’an. Hanya saja dalam sejarah perkembangan pemikiran,
kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam mulai diperbincangkan. Pro dan
kontra muncul. Diskusi-diskusi dengan topik peran dan kedudukan hadits mulai
terlihat. Dalam sejarah pemikiran, muncul usaha-usaha untuk mempertemukan
pendapat yang pro dan kontra, sebagaimana yang dirintis oleh Muhammad Nashir
al-Din al-Albaniy. Pendapat-pendapat yang muncul sekitar kedudukan hadits
sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
1.
Kelompok yang meyakini hadits
sebagai sumber hukum Islam.
Jumhur
umat Islam berkeyakinan bahwa mengikuti Rasulullah adalah wajib hukumnya,
sesuai dengan firman Allah Q. S An-Nisa ayat 64
وَمَااَرْسَلْنَامِنْ رَسُوْلٍ اِلَّألِيُطَاعَ بِاِذْنِ
الله
Artinya:”
Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan
seizin Allah
Dengan
demikian, menjadilah hadits dengan serta merta menjadi sumber hukum Islam
setelah Al-Qur’an, menjadi hal yang mustahil bagi seseorang dapat mengikuti
Rasulullah tanpa adanya hadits-hadits Rasulullah itu sendiri. Muhammad abu Yahw
berpendapat bahwa kewajiban mengikuti Rasulullah merupakan sesuatu hal yang
telah disepakati (ijma) oleh umat Islam. Kejelasan ketentuan-ketentuan
tersebut, tidak lagi membutuhkan takwil dan tidak mungkin bisa terlaksan tanpa
menggeluti sunnah Rasul dan mengamalkan hadits-haditsnya.[1]
Beberapa
alasan hadits atau sunnah diletakan sebagai sumber hukum Islam yang kedua,
Yaitu:
a. Berdasarkan
petunjuk Al-Qur’an itu sendiri, yaitu:
فَاِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءِفَردّوْهُ اِلَى اللهَ واَلرَّسُوْل
Artinya:”
kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah Nabi)
b. Berdasarkan
petunjuk Hadits Rasul
عَنْ
عَبْد اللّه أبى عَمرِعوف عن ابِيهِ عَن جدِّهِ انَّ رسول الله ص م قال: تَرَكْتُ
فيكُمْ امَرَبْنِ لَنْ ثَضِلُواماتمَسّكْتُمْ بِهِما كتا بُ الله
وسنّتِى
Artinya:” dari Abdullah bin Amr
bin Auf, dari Ayahnya, dari kakeknya, bahwa beliau Rasulullah SAW, telah
bersabda: Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara, yang tidak
akan tersesat kamu selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab
Allah dan Sunnahku.”
c. Berdasarkan
nilai keorisinilan dokumen dan historis kodifikasinya.
Maksudnya, bahwa bila ditinjau dari
segi sejarah dan orientalisnya, maka matan atau materi Al-Qur’an (juga hadits
Mutawatir lafdzy) berkedudukan اَلْقَطْعِىُ
الوُرُوْد atau القَطْعِىُ النُبُوت yakni, riwayat yang penetapanya telah diyakini kebenarannya.
Sedang untuk hadits (yang bukan Mutawatir) berkedudukan: الطَنِىُ الورُود atau
الطَنِىُ النُبُوت yakni riwayat yang penetapannya, diduga keras kebenarannya.
Adapun dari segi “dalalahnya” baik Al-Qur’an maupun hadits sama-sama ada yang: القَطْعيَةُ الذِلالةُ (ketetapan yang ditunjuki oleh
dalil yang meyakinkan kebenarannya); ada yang: المُطَبِيَةُالذِلاَلة (ketetapan
yang ditunjuki oleh dalil, yang baru pada tingkat dugaan keras tentang
kebenarannya).
d. Berdasarkan
logika
Bahwa Al-Qur’an sebagai wahyu dari
sang pencipta, sedang Hadits berasal dari hamba dan utusan-Nya, maka sudah
selayaknya bahwa yang berasal dari sang Pencipta itu lebih tinggi kedudukannya
daripada yang berasal dari hamba atau utusan-Nya.
e. Petunjuk
Nabi.
Bahwa Rasulullah saw.
Ketika akan mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda: bagaimana kamu mengadili
bila dihadapkan kepadamu suatu masalah hukum? Mu’adz menjawab: Saya menghukum
berdasarkan kitabullah. Rasulullah bersabda: Dan jika tidak ada dalam
kitabullah?. Mu’adz menjawab: maka dengan sunnah Rasulullah saw. Rasulullah
bersabda lagi: Bila tidak ada juga dalam sunnah Rasulullah dan dalam
Kitabullah?. Mu’adz menjawab: saya akan berijtihad dengan pikiran saya sekuat
mungkin. Maka Rasulullah menepuk dada Mu’adz seraya bersabda: segala puji bagi
Allah yang telah member petunjuk kepada utusan dari utusan Allah kea rah yang
diridhai oleh utusan Allah”.
Kandungan
materi hadits, yaitu:
1) Berisi
tentang sejarah
Yakni sejarah (biografi) Rasul
keadaan para sahabat dan usaha yang telah dilakukan oleh Rasul dan Sahabatnya di zamannya.
2) Berisi
akhlaq
Yakni tentang budi pekerti yang
terpuji sesuai dengan fitrah manusia.
3) Berisi
aqidah
Yakni segala sesuatu yang
berhubungan dengan keyakinan. Al-Qur’an telah menetapkan tentang
dasar-dasarnya. Kemudian hadits shahih hanyalah merupakan pengokohan atau
penjelasan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an. Apabila ada
hadits dalam masalah aqidah bertentangan dengan Al-Qur’an maka hadits itu
palsu, yang tidak boleh dipakai. Karena itu jumhur ulama menetapkan bahwa hanya
Al-Qur’an dan hadits Mutawatir saja yang dapat dipakai untuk menetapkan aqidah.
Alasannya: Aqidah itu harus berdasarkan keyakinan (qath’iyul wuwrud). Sedang
keyakinan itu harus diperoleh melalui Al-Qur’an dan hadits
4) Berisi
hukum, baik soal ubudiyah soal muamalah.
Pikiran yang menjadikan hadits
bersama Al-Qur’an merupakan kesatuan tak terpisahkan sebagai sumber hukum dalam
Islam, kelihaurtannya memang bisa diterima akal. Tetapi masalahnya tidak
sederhana itu, mengingat banyak ayat al-Qur’an yang turun tanpa penjelasan
lebih lanjut dari hadits. Di lain pihak tidak sedikit kita temukan hadits yang
bertentangan dengan al-Qur’an. Adapula hadits yang memerintahkan sesuatu,
sedangkan al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali.[2]
2. Kelompok
yang meyakini hadits bukan sebagai sumber hukum Islam.
Kelompok
yang meyakini hadits bukan sebagai sumber hukum Islam, lebih popular dengan
sebutan Inkar Al-Sunnah. Kelompok ini muncul dan berkembang seiring dengan
perkembangan pemikiran orang-orang Islam itu sendiri. Boleh jadi embrio
kelompok ini telah muncul sejak Rasulullah masih hidup. Tidak menutup
kemungkinan hadits yang berbunyi:
لاَالَلْفَيَنَّ
احَدُكُم مُتَكِءَاعَلَىْ اَرِيْكَتِهِ يأْتِيْهِ اْلاَمْرِ مِنْ امْرِيْ مِمَّا
اُمِرْتُ اَوْنُهِيْتُ عَنْهُ فَيَكُوْلُ لاَنَدْرِىْ مَاوَجَدَنَا فِى كِتَابِ
اللهِ اتْبَعْنَاه
Artinya.”
Aku tidak akan merasa belas kasihan terhadap orang-orang yang tidur-tiduran
saja, diatas tempat tidurnya (pemalas) yang jika dating kepadanya sesuatu yang
aku perintahkan atau aku larang, dia berkata,”Saya tak mau tahu, saya hanya
mengikuti apa-apa yang ada dalam al-Qur’an.
Hadits
ini pada awalnya dihadapkan pada mereka. Tidak mustahil pula bahwa gerakan
gerakan penentang membayar zakat pada zaman khalifah Abu bakar merupakan
perkembangan embrio tersebut, dikarenakan mereka berkeyakinan bahwa khalifah
Abu Bakar tidak memiliki otoritas untuk memungut harta zakat. Barangkali juga
ada munasabahnya jika pernyataan Umar bin Khatab yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, ada kaitannya dengan merebaknya gerakan inkar al-Sunnah.
Inkar
al-Sunnah lebih merupakan gerakan pemikiran. Gerakan ini memcuat ke permukaan
secara riil, setelah Rasyid Ridla (1865-1935 M) memuat tulisan Taufiq Sidqi
dalam majalah al-Manar yang dipimpinnya. Tulisan Taufiq Shidqi tersebut
berjudul, al-Islam Huwa al-Qur’an Wahdah. Sebenarnya pikiran inkar
al-Sunnah telah muncul sebelumnya (di bawah tanah), yakni pada zaman imam
al-Syafi’iy masih hidup. Kitab al-Risalah salah satu karya al-Syafi’iy, ditulis
sebagai jawaban secara sistematis dan akademis, atas hujjah inkar al-Sunnah.
Dalam
menegakan hujjahnya, inkar al-Sunnah menempuh dua cara, yakni:
1) Mengkonter
alasa-alasan ulama Jumhur pendukung al-Sunnah.
2) Mengajukan
argumentasi baru, yang menurut mereka lebih kuat, bahwa hadits adalah bukan
sumber hukum dalam Islam.
Kelompok
inkar al-Sunnah, dengan berbagai argumentasinya telah dengan tegas menolak
hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam. Kelompok ini tidak menghargai
sedikitpun inisiatif Rasul dalam mengaktualisasikan ajaran Islam.[3]
B.
Fungsi
Hadits dan Hubungannya dengan Al-Qur’an
Hadits sebagai teks normative kedua setelah Al-Qur’an yang menjadi
prinsip dan dasar ajaran Islam, maka fungsi hadits adalah sebagai penjelas
(mubayyin) isi Al-Qur’an sesuai dengan firman Allah SWT.
بِاْلبيّننَتِ والزُّبُرِواَنْزَلْنَا
اِلَيْكَ اَّلذَكْرَلِتُبَيِّنَ للنَّاسِ مانُرِّلَ الَيْهِمْ وَلَعَلَّهُم
يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya:” Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami
turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. An-Nahl:44).[4]
Dari firman Allah diatas menjelaskan bahwa fungsi hadits sebagai
penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. Apabila
disimpulkan, fungsi hadits dalam hubungannya dengan Al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
1. Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud dengan Bayan At-Tafsir adalah
menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal, dan musytarak. Fungsi hadits
dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih
muthlaq, dan memberikan takhshih ayat-ayat yang masih umum.
Contoh Bayan At-Tafsir mujmal untuk
menjelaskan Shalat, puasa, zakat, dan haji. Kita diperintahkan shalat, namun
Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan
rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaanya. Semua ayat tentang kewajiban
shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW, dengan sabdanya,
صَلُّوْا
كَمَارَأَيْتُمُوْنِيْ اُصلِّي (رواه البخاري)
Artinya:” Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. (H.R.
Bukhari).
Sebagaima hadits tersebut, Rasul memberikan contoh
tata cara shalat yang sempurna. Bukan hanya itu, beliau juga melengkapi dengan
berbagai kegiatan yang dapat menambah pahala ibadah shalat.
Diantara contoh-contoh Bayan At-Tafsir musytarak
fihi, adalah menjelaskan tentang ayat-ayat quru’. Allah SWT. Berfirman
dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 228, yang artinya:”Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan
tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Mahabijaksana.
Untuk menjelaskan quru’ ini, datanglah hadits Nabi
SAW,
طَلاَقُ
اْلاَمَةِاِثْنَتَانِ وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ(راوه مجة)
Artinya:”Talak budak dua kali dan iddahnya dua haid. (H.R. Ibnu Majah).
Sehingga arti perkataan quru’ dalam ayat Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 228 berarti suci dari haid.
Contoh hadits Rasulullah SAW, yang men-taqyid
ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain hadits,
اُحِلَّتْ
لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمانِ فَاَمَّا اْلمَيْتتَانِ اْلحُوْتُ وَاْلجَرَدْ
وَاَمَّاا لدِمَانِ فَالكبِدُوَ الطِّحَال.
Artinya:”Telah
dihalkan bagi kamu dua (macam) bangkai dan dua (macam) darah. Adapun dua
bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang, sedangkan dua darah adalah
hati dan limpa.
Hadits ini men-taqyid ayat Al-Qur’an yang mengharamkan semua
bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S. Al-Maidah ayat 3,
yang artinya:”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah
Contoh hadits yang berfungsi untuk men-takhshis keumuman ayat-ayat
Al-Qur’an adalah hadits Nabi SAW, berikut ini,
لاَبَرِثُ
اْلقَاتِلُ مِنَ اْلمَقْتُوْلِ شَيْأَ(رواه احمد)
Artinya:”Pembunuh
tidak berhak menerima harta warisan. (H.R. Ahmad).
Hadits tersebut men-takshis keumuman firman Allah SWT, Q.S. An-Nisa
ayat 4, yang artinya:”Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan.
2.
Bayan At-Taqrir
Bayan At-taqrir atau sering
juga disebut dengan Bayan At-Ta’kid dan Bayan al-Itsbat adalah
hadits yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an.
Contoh Bayan At-Taqrir, dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat
185, yang artinya:”Karena itu barang siapa yang mempersaksikan pada waktu
itu bulan, hendaklah ia berpuasa….
Ayat diatas di-taqrir oleh Nabi SAW, berikut ini,
اِذَارَاَيْتُمُوْهُ
فَصُوْمُوْا وَاِذَارَاَيْتُمُوْهُ فَاَفْطِرُوْا(رواه مسلم عن ابن عمر)
Artinya:”Apabila
kalian melihat (Ru’yat) bulan, berpuasalah, begitu pula apabila melihat
(ru’yat) bulan itu, berbukalah. (H.R. Muslim dan Ibnu Umar).
Menurut sebagian ulama, Bayan taqrir atau bayan ta’kid ini disebut
juga bayan al-muwafiq li nash al-kitab al-karim. Hal ini karena
hadits-hadits ini sesuai dan untuk memperkokoh nash Al-Qur’an.
3.
Bayan An-Nasakh
Secara bahasa, an-naskh bisa berarti al-ibthal
(membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-taghyir
(mengubah). Para ulama, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin
berbeda pendapat dalam mendefinisikan bayan an-nasakh. Perbedaan ini
terjadi karena perbedaan mereka dalam mendefinisikan kata nasakh dari
segi kebahasaan.
Menurut ulama mutaqaddimin, yang dimaksuddengan bayan
an-nasakh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dari pengertian
tersebut, menurut ulama yang setuju adanya fungsi bayan an-nasakh, maka
hadits merupakan ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus
ketentuan-ketentuan atau isi Al-Qur’an yang datang kemudian.dalam hal ini
mereka terbagi kedalam tiga kelompok.
a.
Kelompok yang
membolehkan me-naskh Al-Qur’an dengan segala hadits, meskipun hadits
ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn
Hazm serta sebagian besar pengikut Zhahiriyah.
b.
Kelompok yang
membolehkan me-naskh dengan syarat hadits tersebut harus mutawatir.
Pendapat ini diantaranya di pegang oleh Mu’tazilah.
c.
Kelompok ulama
yang membolehkan men-naskh dengan hadits masyhur, tanpa harus dengan
mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh ulama Hanafiyah.
Salah satu
contoh yang biasa diajukan oleh para ulama adalah sabda Rasul SAW. Dari Abu
Umamah Al-Bahili,
اِنَّ اللهَ قَدْ اَعْطَى كُلَّ ذِى حَقِّ حقَّهُ فَلاَوَصِيَّةّ
لِوَارِثِ(رواه احمد والاربعة الاالنسأئ)
d.
Artinya:”Sesungguhnya
Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka,
tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H.R. Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali
An-Nasa’i. hadits ini dinilai hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi).
Hadits ini menurut mereka men-naskh isi Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 180, yan artinya:”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang
diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasar
Q.S.Al-Baqarah ayat180 diatas, di-naskh hukumnya oleh hadits yang menjelaskan
bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.[5]
Menurut imam al-Syafi’iy secara sistematis fungsi hadits dibagi
menjadi tiga kelompok, yakni:
1) Menjadi penjelas Nabi yang bersesuaian dengan penjelasan Al-Qur’an.
Jika pesan-pesan hadits sama dengan apa yang disampaikan Al-Qur’an, maka
pesan-pesan sepertin ini dimaksudkan untuk memperkuat apa yang telah dipesankan
Al-Qur’an.
2) Sebagai penjelas terhadap apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Menurut
Rifa’at Fauzi bentuk-bentuk pejelasan hadits terhadap Al-Qur’an model ini ada
empat macam, yaitu: tafshil al-mujmal, Taudlih al-Mubham, takhshih al-am,
dan taqyid al-mutlaq.
3) Hadits
sebagai pejelas tambahan terhadap sesuatu yang tidak dijelaskan Al-Qur,an.
Menurut Muhammad Abu Zahw menjelaskan bahwa kadang hadits membawa pesan yang
baru yang sebelumnya sama sekali tidak disinggung oleh Al-Qur’an. Tanggapan
ulama sebagai berikut: Ulama Hadits, semua itu merupakan hukum baru yang
harus diikuti ooleh umat Islam, sesuai dengan keyakinannya bahwa mengikuti
Rasul hukumnya wajib. Ulama Usul, apa yang ditetapkan Rasul bukanlah hal yang
baru, walau al-Qur’an tidak menetapkannya karena pada hakikatnya apa yang
ditetapkan oleh hadits merupakan penjabaran dari Al-Qur’an.[6]
PENUTUP
Dari aspek
pembahasan materi tentang kedudukan dan fungsi hadits dalam hukum Islam dapat
disimpulkan bahwa kedudukan hadits adalah sebagai teks normative kedua setelah
Al-Qur,an yang mewartakan prinsip dan doktrin sumber hukum Islam. Walau begitu
ada beberapa kelompok yang meyakini bahwa hadits bukan sumber hukum Islam,
kelompok ini disebut kelompok inkar al-Sunnah. Inkar al-Sunnah merupakan
gerakan pemikiran. Kelompok inkar al-Sunnah ini dipelopori oleh Rasyid Ridla.
Sedangkan fungsi
hadits adalah sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas. Sedangkan menurut
sistematisasi Imam al-Syafi’I, fungsi hadits yaitu:
1. Penjelasan Nabi yang bersesuaian dengan
penjelasan al-Qur’an.
2. Penjelasan Nabi terhadap apa yang dikehendaki
oleh al-Qur’an.
3. Penjelasan Nabi sebagai tambahan terhadap
sesuatu yang tidak dimuat dalam al-Qur’an.
Pikiran yang
menjadikan hadits bersama Al-Qur’an merupakan kesatuan tak terpisahkan sebagai
sumber hukum dalam Islam, kelihaurtannya memang bisa diterima akal. Tetapi
masalahnya tidak sederhana itu, mengingat banyak ayat al-Qur’an yang turun
tanpa penjelasan lebih lanjut dari hadits. Di lain pihak tidak sedikit kita
temukan hadits yang bertentangan dengan al-Qur’an. Adapula hadits yang
memerintahkan sesuatu, sedangkan al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali.
DAFTAR
PUSTAKA
Dailamy. 2010. Hadits Semenjak Disabdakan Sampai
Dibukukan. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.
Hashim
Kamali, Muhammad. 1991. Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul al-Fiqih).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Circle for The Qur’an and Humanity Studies.
Ismail,
Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Penerbit Angkasa.
Solahudin, Agus dan Suyadi, Agus. 2011. Ulumul
Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
[1]
H.M. Dailamy, Hadits Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan,) Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2010), hlm. 31.
[2] M,
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadist, (Bandung: Angkasa, ), hlm.45.
[3]
H,.M. Dailamy, Hadist Semenhjak Disabdakan Sampai Dibukukan,
(Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2010), hlm. 44.
[4]
Drs. H. Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: PT DANA BHAKTI WAKAF, 1995),
hlm. 92.
[5]
M.Agus Solahudin, Agus Suryadi, Ulumul Hadits, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2011), hlm. 78.
[6]
H.M. Dailamy, Hadits Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2010), hlm. 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar