Rabu, 21 Januari 2015


PERKEMBANGAN ILMU FIQIH
KLASIK SAMPAI KONTEMPORER

A.    Periode Rasulullah
Pertumbuhan ilmu fiqih di masa Rasulullah berdasarkan wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui malaikat jibril dengancara yang berangsur-angsur yang dimulai dari Mekkah dan diakhiri di Madinah. Kalau belum turun ayat al-Qur’an mengenai suatu maslah, maka Nabi mengadakan ijtihad beliau sesuai dengan ayat al-Qur’an yang diturunkan kemudian.berarti ijitihad Rasul dan Sunnahnya tidak ada yang berlawanan dengan wahyu Allah. Disamping nabi sendiri adalah sebagai sumber hukum, sebab segala sesuatu yang dilakukan Nabi adalah contoh yang baik bagi umatnya.[1]
Periode ini berlangsung tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan saja. Walaupun demikian periode ini membawa pengaruh-pengaruh yang besar dan penting sekali karena mampu menghasilkan beberapa ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah serta berbagai dasar pokok tasyri’ yang menyeluruh. Dengan demikin periode Nabi ini mewariskan dasar pembentukan undang-undang yang sempurna.[2] Periode kenabian dibagi dua yaitu periode Mekkah sebagai periode awal dan periode madinah sebagai periode akhir. Periode Mekkah dikenal sebagai periode penanaman akidah dan akhlak. Ayat al-Qur’an yang turun dalam periode ini tidak menyinggung hukum seperti hukum keluarga, hukum waris, hukum pidana. Sedangkan periode Madinah dikenal sebagai periode penataan dan pemapanan sebagai masyarakat percontohan. Karenanya diperiode inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun sosial. Dengan demikian penekanan periode Mekah adalah perbuatan rohani (jiwa dan akal yang menjelma menjadi keimanan dan akhlak) sedangkan periode Madinah adalah perbuatan ragawi. Kalau ibdah shalat itu diwajibkan di periode Mekkah, karena ibarat sebuah bangunan, shalat adalah fondasi keimanan.[3]
1.      Kekuasaan Fiqih Pada Rasulullah
Sumber kekuasaan pada masa ini hanya dipegang oleh Rasulullah dan tak seorangpun dari umat Islam selain beliau dibolehkan menentukan hukum yang berkenaan dengan suatu peristiwa, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Maka tak seorangpun dari mereka yang berani berfatwa dengan hasil ijtihadnya sendiri dalam suatu peristiwa atau menjatuhkan vonis terhadap suatu persengkataan yang terjadi.
Bahkan kalau para sahabat menghadapi suatu peristiwa, terjadi persengkataan, suatu pertanyaan, atau permintaan fatwa mereka langsung mengembalikan persoalan-persoalan itu kepada Rasulullah SAW. Beliau lah yang selanjutnya memberi fatwa mereka dengan berlandaskan ayat al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada beliau atau dengan menggunakan hasil ijtihad beliau yang berpedoman kepada ilham dari Allah, berpedoman pada petunjuk akal, analisis, serta penetapan beliau. Setiap hukum yang keluar dari pribadi beliau itu menjadi tasyri’ bagi umat Islam dan merupakan undang-undang yang wajib diikuti. Oleh karena itu pada periode Rasul tidak ada dua pendapat dalam suatu peristiwa dan tidak ada seorang sahabat pun yang memberi fatwa atau berijtihad pada waktu itu.[4]

2.      Sumber Fiqih Pada Masa Rasulullah
Penentuan hukum pada masa Rasulullah terdiri atas dua macam sumber, yaitu:


a.  Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama bagi perundang undangan Islam, ia meliputi semua ajaran pokok dan semua kaidah yang harus ada dalam pembuatan undang-undang peraturan.Perundang-undangan lain datang secara global, tidak terperinci dan hanya skeptis kecuali dalam beberapa masalah yang memang membawa kemaslahatan yang tetap dan tidak berubah oleh zaman dan tempat seperti hukum warisan, hukum keluarga secara umum dan selain diatas semuanya bersifat umum dan kaidah global yang bisa di praktikan ketika manusia menghadapi satu permasalahan dalam kehidupan mereka agar terasa mudah dan supaya perundang-undangan itu sendiri sesuai dengan setiap keadaan dan perubahan.[5]
b. As-Sunnah an-Nabawiyah. As-Sunnah an-Nabawiyah adalah setiap yang keluar dari Rasulullah berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan selain dari al-Qur’an. As-Sunnah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an karena ia menjadi penguat, penjelas, penafsiran, penambahan terhadap hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Karena Rasulullah SAW sebagai pengatur segala urusan kaum muslimin selain sebagai seorang nabi yang mendapat perintah untuk menyampaikan syariat Allah kepada seluruh manusia, maka beliau juga mendapat mandat untuk menjelaskan syariat secara umum yang akan mengatur kehidupan umat pada setiap waktu dan tempat.[6] Kesemuanya itu mendaptkan pengawasan dan pemeliharaan dari Allah SWT, sehingga kalau beliau benar maka Allah akan menetapkannya. Dan kalau beliau salah maka Allah akan mengembalikan dan menuntunya pada arah yang benar. Oleh sebab itu tak ada alasan untuk membeda-bedakan antara hukum hasil ijtihad Nabi yang bukan berasal dari Ilham Allah sssaqdengan hasil hukum ijtihad Nabi yang timbul dari ilham Allah melainkan kalau Allah mengembalikan Rasul-Nya pada arah yang benar. Maka barulah bisa diketahui bahwa hal itu pun datangnya dari Allah juga, lalu Nabi menerangkannya.[7]
3.      Garis Perundang-undangan Pada Masa Rasulullah
Yang dimaksud dengan garis perundang-undangan (khittah tasryi’iyah) ialah metode yang ditempuh oleh pemuka-pemuka tasyri’ untuk mengembalikan permasalahan pada sumber-sumber tasryi’ yang mereka pelihara. Karena periode ini merupakan periode pembentukan hukum dan peletakan dasar-dasar perundang-undangan, maka garis perundang-undangan dalam periode ini adalah berupa pola dasar untuk pembentukan undang-undang Islam. Adapun metode yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dilakukan dengan beberapa tahap. Kalau timbul suatu masalah yang membutuhkan suatu ketentuan hukum, beliau menantikan wahyu Allah. Kalau wahyu tidak datang kepadanya, maka beliau berpendapat bahwa Allah mewakilkan atau menyerahkan penentuan hukum atas peristiwa yang di hadapinya itu kepada ijtihad beliau sendiri. Lalu beliau pun berijtihad dengan mengambil petunjuk dari undang-undang Allah, atau menurut jiwa tasyri’ ketetapan atas dasar kemaslahatan bagi manusia, dan dengan permusyawaratan sahabat.
4.      Pengaruh Perundang-undangan Periode Nabi
Ayat-ayat dan hadits inilah yang merupakan pengaruh-pengaruh hukum yang ditinggalkan oleh periode ini, dan ini pula yang menjadi dasar undang-undang bagi umat Islam dan tempat kembali bagi para mujtahid di dalam setiap waktunya. Kalau terjadi peristiwa yang ketentuan hukumnya sudah pasti, maka tidak ada tempat berijtihad bagi mujtahid manapun dan di masa apapun. Tetapi kalau tidak ada nas yang pasti yang menunujukan hukum kejadian tersebut, para mujtahid perlu untuk melakukan ijtihad.
Dalam ijtihadnya para mujtahid harus berjalan di atas pancaran nas yang pasti, dengan cara mengambil mengambil persamaan illat pada kejadian baru itu dengan sesuatu yang sudah ada nasnya, atau dengan mengambil jiwa nas itu, atau dari ma’qulnya atau dari prinsip-prinsipnya yang umum. Hasil ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan nas atau keluar dari prinsip-prinsip umum.[8]

B.     Periode Sahabat
Masa ini merupakan masa kedua dalam perkembangan tasyri’ Islam, mulai wafatnya Rasulullah sampai wafatnya Ali RA (11H-40H/632M-661M) yaitu mulai khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.[9]
1.      Kekuasaan Perundang-undangan Pada Masa Sahabat
Para ulama dari kalangan sahabat menunaikan kewajibannya dengan cara menerangkan atau menyebarluaskan kedudukan-kedudukan nas dan memberi fatwa hukum terhadap hal-hal yang tidak ada nasnya. Mereka bertindak selaku pemuka atau pemegang kekuasaan perundang-undangan dalam periode ini dan mereka pulalah yang menggantikan Rasul dalam memecahkan persoalan dalam umat Islam. Mereka memperoleh hak tasryi’ bukan karena ditunjuk dan diangkat oleh khalifah atau dipilih oleh rakyat, melainkan karena keistimewaan atau kecakapan pribadi yang mereka miliki. Mereka cukup lama bergaul dengan Nabi dan menghafal al-Qur’an serta as-Sunnah dari Nabi. Mereka menyaksikan dan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, dan mengetahui sebab-sebab datangnya as-Sunnah, bahkan banyak dari kalangan mereka merupakan anggota dewan pertimbangan bagi Nabi dalam melakukan ijtihadnya. Fakta-fakta inilah yang menyebabkan mereka sanggup mengomentari nas-nasnya. Mereka sanggup menjadi tumpuan-tumpuan kembali umat Islam dan umat pun mempercayai komentar maupun fatwa mereka.[10] Dan diantara para mufti dari kalangan sahabat yaitu:

a.       Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada masanya disebut masa penetapan tiang-tiang (daa’im). Dizamannya diperangi orang-orang yang murtad, mutanabi, dan pembangkang penyerahan zakat. Di masanya pula di kumpulkan al-Qur’an pada satu mushaf.
b.      Umar bin Khatab. Pada masanya menyusun administrasi pemerintahan dan menetapkan pajak, kharaj atas tanah subur yang dimiliki orang nonmuslim. Umar menetapkan peradilan dan perkantoran, serta kalender penanggalan.Umar dikenal sebagai imamul mujtahidin. Dimasanya beliau berijtihad antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak ada illat untuk memotongnya dan tidak memberikan zakat kepada al-muallafatu quluubuhum karena tiada illah untuk memberikanya.
c.       Utsman bin Affan. Pada zamannya telah diperintah Zaid Ibn Tsabit dan Abdullah Ibn Zubair. Sa’iid Ibn al-Ash dan Abdurrahman bin Harits untuk mengumpulkan al-Qur’an dengan qiraah (dialek) yang satu dengan mushaf satu macam pula pada tahun 30H./650M.
d.      Ali bin Abi Thalib. Ali adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. Ali bin Abi Thalib terkenal dengan kemahirannya sebagai qadli, sejak zaman Nabi Muhammad SAW.[11]
2.      Sumber Perundang-undangan Pada Masa Sahabat
a.       Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafal dan maknanya. Para sahabat sama sekali tidak pernah mendahului al-Qur’an karena ia adalah sumber dari segala sumber bagi pembentukan akidah Islam, akhlak yang mulia, dan hukum-hukum amal perbuatan termasuk juga bahasa.
b.      As-Sunnah. Meneliti dalam sunnah Rasulullah jika tidak ada nas dalam kitab Allah.jika mereka menemukan nas dalam kitab Allah atau Sunnah yang menunjukan hukumnya, merekapun berhenti disini dan mencari hukumnya, berusaha memahami kandungannya. Terkadang mereka sepakat dan terkadang berbeda pendapat disebabkan oleh pemakaian bahasa yang berbeda atau karena kondisi periwayatan.
c.       Ijma’ (konsensus bersama). Jika tidak ada dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah atau ditemukan namun bersifat global, atau nasnya banyak dan setiap nas memberi hukum yang berbeda, atau khabar ahad. Dan diantara manhaj mereka pada waktu ini adalah khalifah mengundang para sahabat untuk melakukan konsensus. Jika mereka sepakat, masalah kemudian dibahas dan saling tukar menukar pendapat, dan jika rapat menyetujui satu pendapat maka itulah yang akan mereka putuskan dan menjadi sebuah hukum yang pasti dan mengikat.
d.      Ra’yi (logika), Setiap hukum yang ditetapkan bukan berdasarkan petunjuk nas termasuk qiyas, istihsan, mashalih mursalah, bara’ah adz-dzimmah, dan sadd-dzari’ah.[12]
3.      Garis Perundang-undangan Pada Masa Sahabat
Garis perundang-undangan pada masa ini adalah bakat hukum. Bakat hukum ini terbentuk sebab mereka telah berdialog dengan Rasulullah, dan mereka menyaksikan Nabi menetapkan hukum serta prinsip-prinsip hukumn yang umum. Oleh karena itu mereka kadang-kadang menetapkan hukum berdasarkan kehendak kemaslahatan, atau menolak kemudharatan. Dengan demikian lapangan ijtihad mereka terhadap peristiwa yang tidak ada nasnya itu luas sekali, dan ijtihad itu menampung segala kebutuhan hidup manusia serta segala kemaslahatan umat manusia.[13]
Perbedaan yang terjadi di antara para sahabat dalam maslah hukum syariat bukan disebabkan oleh hawa nafsu pribadi atau karena intrik pribadi. Namun karena membahas urusan agama berdasarkan ilmu dan ijtihad yang ditopang oleh dalil sehingga tida ada celah bagi mereka karena semuanya kembali kepada faktor yang memang tidak dapat di hindari, dan mereka tidak ada kemampuan untuk memenuhi semuanya. Ada beberapa alasan timbulnya perbedaan itu ialah:
a.        Zhanni ad-dalalah. Maksudnya adalah dalil yang memiliki makna lebih dari satu, sebagaimana firman Allah SWT:” Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri tiga kali quru’. (QS. Al-Baqarah:228). Lafal quru’ memilik arti musytarak (multi) antara makna bersih dan haidh. Maka dari sini mereka berbeda pendapat tentang masa menunggu (Iddah) wanita yang diceraikan suaminya apakah tiga kali bersih atau tiga kali haidh. Terkadang zhanni ad-dalalah terjadi karena faktor wurud ( datangnya dalil) sebagaimana kasus hadits ahad. Jika sebuah hadits datang dengan cara ahad (satu perawi dalam satiap tingkatan perawi), karena betapapun adil dan tsiqahnya seseorang namun kemungkinan terjadinya kesalahan atau lupa secara logika bisa saja terjadi. Oleh karena itu mereka berbeda pendapat dalam pemakaian hadits ahad.
b.      Sunnah belum dibukukan. Pada waktu itu belum dibukukan dan belum ada kesatuan pendapat untuk menghimpunnya dalam satuan koleksi dan menyebarluaskannya di kalangan umat Islam sebagai pedoman mereka bersama., bahkan as-Sunnah nmasih berpindah-pindah jalan riwayat dan hafalannya. Karena kondisi inilah akhirnya para sahabat berbeda pendapat karena sebagian berijtihad untuk sampai kepada hukum suatu maslah tertentu sedangkan ia berada di Irak misalnya, padahal bagi sebagian sahabat hadisnyapun belum diketahui semua oleh penduduk Madinah. Oleh karena itu kita dapati sebagian sahabat menarik kembali fatwanya setelah ia belum mengetahuinya.[14]
c.       Lingkungan hidup (millieu). Tempat mereka tinggal tidak sama. Serta kemaslahatan dan kebutuhan-kebutuhan yang mereka atur pun  berbeda bertingkat-tingkat pula. Apabila terjadi perbedaan lingkungan hidup maka berbeda juga pandangan-pandangan dalam menilai suatu kepentingan serta motif-motif diundangkannya hukum.[15]
C.    Periode Tadwin (Pembukuan)
Masa ini disebut juga masa ijtihad (masa Mujtahid dan Imam Mazhab) dan munculnya imam-imam Mujtahid. Periode ini dimulai pada awal abad kedua hijriah dan berakhir pada pertengahan abad keempat hijriah. Dinamai periode pembukuan sebab gerakan atau usaha penulisan dan pembukuan terhadap hukum Islam mengalami perkembangan pesat. Di periode ini dibukukan as-Sunnah, fatwa-fatwa para mufti dari kalangan sahabat, tabiin, tabi’-tabi’in, komentar secara mendalam tentang tafsir al-Qur’an, fiqih para Imam mujtahid dan karangan-karangannya.
 Pada saat ini adalah zaman kemajuan dibidang hukum Islam. Ini disebabkan banyaknya masalah-masalah hukum yang harus diselesaikan, yang terjadi pada beberapa daerah Islam yang telah menjadi luas itu.
Para tabiin-tabiin di masa ini banyak yang berijtihad, sehingga mereka menjadi mujtahid-mujtahid besar dalam Islam. Semuanya menjadi sebab bagi tumbuhnya suatu golongan ahli dalam ilmu Islam, yang kemudian terkenal dengan sebutan faqih yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan Islam.[16]
1.      Pemegang Kekuasaan Periode Tadwin
Segolongan tabi’in yang mempelajari al-Qur’an dan segolongan tabiin juga meriwayatkan as-Sunnah dari mereka, menghafal bermacam-macam fatwa mereka, memahami rahasia-rahasia mereka, dan mengikuti jalan-jalan pengambilan hukum dari mereka. Diantara para tabi’in tersebut ada yang meminta fatwa dan ada yang memberi fatwa pada masa sahabat.
Sesudah tokoh-tokoh perundang-undangan dari kalangan sahabat, pemegang peranan dalam mengembangkan hukum Islam dilanjutkan oleh murid-murid mereka dari kalangan tabi’in. kemudian tabi’in dilanjutkan oleh murid-murid mereka dari kalangan tabi’it tabi’in. kemudian tabi’it tabi’in dilanjutkan oleh murid-murid mereka dari para Imam-imam mujtahid empat dan rekan-rekannya.[17] Diantara mujtahid-mujtahid yang terkenal adalah:
a.       Imam Abu Hanifah, seorang alim keturunan Persia lahir di Basrah tahun 80 H (699 M) bekerja di Kufah dan meninggal tahun 150 H (767 M). Abu Hanifah terkenal sebagai Ahli Al Ra’yu. Yaitu banyak mendasarkan pendapatnya kepada ujian pikiran, karena di Basrah kurang mendapat hadits shahih.
b.      Imam Malik ibn Anas, lahir di madinah tahun 93 H (713 M) dan meninggal tahun 179 H (795 H). Imam Malik terkenal sebagai ahli hadits. Karena di Madinah hadits nabi banyak dikumpulkan pada ahli hadits. Disamping al-Qur’an, hadits beliau ambil sebagai dasar fiqihnya. Buku hadits yang terkenal ialah “Muwaththa”. Akhirnya mendirikan mazhab Maliki. Pengikutnya tersebar di seluruh daerah Islam bagian barat seperti di Maroko, Aljazair, Tunis, Tripoli, Spanyol, Mesir, dan Afrika Tengah.
c.       Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’ie. Beliau dilahirkan di Palestina tahun 150 H (767 M) dan meninggal tahun 204 H (802 M) di Mesir. Ia di besarkan dan belajar di Mekah dan di Madinah pernah belajar dari Imam Malik. Beliau adalah pendiri mazhab Imam Syafi’ie, terkenal yang besar jasanya, terutama bukunya yang terkenal sampai sekarang ialah Al-Um. Buku ini sebagai dasar dari ilmu yang dikembangkannya yang bernama “Ushul Fiqih”.
d.      Imam Ahmad ibn Hambali, lahir di Baghdad tahun 164 H (776 M) dan meninggal tahun 241 H (885 M). ia terkenal sebagai ahli hadits. Bukunya yang terkenal “ Musnad Ahmad ibn Hambal” yang berisi hampir 30.000 hadits. Di samping itu ada lagi mazhab Syi’ah yang mempunyai Fiqh tersendiri pula. Imam-Imam besar itulah yang telah menciptakan Fiqh masing-masing yang masih ditaati penganut islam sampai sekarang.[18]
2.      Sumber Perundang-Undangan Periode Tadwin.
a.       Al-Qur’an
b.      As-Sunnah
c.       Al-Ijma
d.      Ijtihad dengan jalan qiyas atau ijtihad menggunakan jalan lain dari jalan-jalan istinbat (mengambil hukum). Seorang mufti, kalau menemui nas dari al-Qur’an atau as-Sunnah yang menunjukan hukum yang dimintakan fatwa hukumnya, dia tentu berpegan pada nas tersebut, dan tidak akan melampaui hukumnya. Kalau tidak menemui nasnya, tetapi dia mengetahui ulama salafnya dari para mujtahid yang sudah berijma mengenai ketentuan hukumnya, maka hukum berdasarkan ijma salaf tersebut. Apabila dia tidak mendapatkan nas tentang peristiwa hukum tersebut, dan tidak pula mendapatkan ijma ulama tentang hukum yang di maksud, barulah ia berijtihad dan beristinbat dengan jalan istinbat yang sudah ditunjukanoleh Syar’i.
3.      Garis Perundang-undangan Periode Tadwin
Pada awal periode ini, yaitu sewaktu kekuasaan perundang-undangan berada di tangan angkatan tabi’in dan tabi’in besar, garis perundang-undangan mereka mengikuti garis dari guru-guru besar mereka dari kalangan sahabat dalam mengembalikan semua persoalan kepada sumber-sumber perundang-undangan dan memperhatikan prinsip-prinsip umum dalam perundang-undangan Islam.[19]
D.    Periode Taklid
Periode taklid lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan periode ijtihad atau periode tadwin. Mula-mula masa kemunduran dalam bidang-bidang kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau fiqih Islam.[20] Mereka tidak lagi mendatangi al-Qur’an dan as-Sunnah, bahkan mereka merelakan dirinya untuk bertaklid dan merasa puas dengan fiqihnya imam mujtahidin yang dahulu, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’ie, dan Ahmad. Mereka mempersempit akal pikiran mereka dilingkungn terbatas tentang cabang-cabang hukum mazhab.
Dengan demikian, terhentilah pembentukan hukum itu terbats pada apa yang disampaikan para imam mujtahid periode terdahulu, tidak memperhatikan perjalanan yang terjadi, tentang perkembangan masyarakat, kemajuan muamalah, urusan peradilan, dan kejadian-kejadian yang baru.
1.      Sebab Terhentinya Gerakan Ijtihad
a.       Terbagi-baginya Daulah Islamiyah kedalam sejumlah kerajaan-kerajaan yang para rajanya, penguasanya, dan rakyatnya yang saling bermusuhan.
b.      Menjadi beberapa golongan dan masing-masing golongan memiliki suatu aliran hukum sendiri, dan juga akibat pengaruh kelompok dan pedomannya, maka setia murid dari tiap-tiap aliran atau anggota setiap golongan menitikberatkan perhatiannya untuk membela dan memenangkan mazhabnya masing-masing dan memperkuat ushul fiqih serta cabang-cabangnya dengan berbagai jalan.
c.       Krisis pembentukan hukum dan ijtihad. Orang yang tidak memiliki keahlian berijtihad berani mendakwahkan ijtihad. Muncullah keberanian menyampaikan fatwa kepada umat islam oleh orang-orang bodoh yang mempermainkan nas-nas syariah.
d.      Tersebar luas di kalangan para ulama berbagai penyakit moral yang menghalangi mereka dari ketinggian derajat ijtihad. Di kalangan mereka sudah merata penyakit saling menghasud dan egoisme.
2.      Kesungguhan Ulama dalam Pembentukan Hukum Pada Periode Taklid
a.       Tingkat Pertama: Ahli Ijtihad dalam Mazhab
b.      Tingkat kedua: mujtahid dalam beberapa maslah yang tidak ada riwayat dari imam mazhabnya
c.       Tingkat ketiga: Ahlut Takhrij
d.      Tingkat keempat: Ahlut tarjih
e.       Tingkat kelima: Ahli taklid semata-mata[21]
E.     Periode Kebangkitan Kembali Fiqih Islam
Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitakan kembali Islam, termasuk di dalamnya pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taklid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.
Alasan yang sering mereka kemukakan adalah bahwa Islam, sejak konsepsinya, berkembang dalam serangkaian kesejarahan dalam menghadapi dan menjawab tantangan intelektual dan spiritual. Kenyataan yang sama juga dihadapi oleh Islam dalam abad ke 12 H dan lebih khusus lagi abad ke 13 H. fase ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual melalaui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan intensitasnya.[22]
1.      Sistem mempelajari fiqh  di masa modern
Kenyataan yang sangat nampak dari kebangunan fiqih islam di masa ini, ialah mempelajarinya secara ilmiyah dan universiter. Inilah yang telah menghasilkan faedah yang besar. Didalam universitas bertemulah para sarjana hukum umum dan para sarjana fiqih Islam. Dengan demikian hasillah suatu perbandingan hukum.[23]
Adanya studi-studi tinggi dalam bidang syari’ah merupakan usaha yang mempunyai nilai yang telah diberikan untuk perekmabngan fiqih islam. Karena itu sisitem yang dipakai dalam mempelajari Ilmu fiqih sialah secara perbandingan (fiqih Muqaran).[24]
2.      Tokoh-Tokoh Pembaharu
Pada abad ke 14 telah muncul mujtahid besar yang menghembuskan angin segar dalam pemikiran keagamaan, yaitu Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim Al-jauziyah (1292-1356). Poal pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17 oleh muhammad bin Abdul Wahhab ( 17073-1787) yang dikenal dengan gerakan Wahabi. Kemudian dilanjutkan oleh jamaludin al-Afghani (1839-1897) yang merupakan sosok pembaharu besar dalam dunia Islam.[25]
Pada akhir abad 13 H, Pemerintah Utsmaniyah mengumpulkan sekelompok ulama besar dan menugaskan mereka untuk menyusun undang-undang dalam bidangmu’amalah madaniyah (hukum perdata) yang bersumberkan fiqh Islam, meskipun tidak berasal dari madzhab-madzhab hukum yang terkenal, dengan syarat hukum yang diambil sejalan dengan semangat kemajuan. Kemudian bersepakat untuk menyusun undanng-undang yang dinamai Majallatul Ahkam Al-Adiyyah (majalah hukum-hukum keadilan) pada tahun 1286 H dan pelaksanaannya mulai direalisasikan pada tahun 1292 H. Mereka mengambil hukum jual beli dengan syarat dari madzhab Ibnu Syubramah. Dan ini merupakan penyimpangan pertama dari garis taqlid murni madzhab empat. Pada saat itu Mesir banyak terjadi pengaduan dan keluhan tentang keharusan hukum menurut madzhab Hanafi dalam hukum-hukum Mahkamah Syari’iyah, maka pemerintah pada tahun 1920 M menggariskan langkah pertama untuk menanggapi pengaduan-pengaduan tersebut, dengan mengeluarkan UU no.25 tahun 1920 yang berisikan sebagian hukum tentang hukum-hukum keluarga (Al-Ahwal Asy-Syahsyiyyah) yang berbeda dengan mazdhab Hanafi, tetapi tidak keluar dari madzhab empat.[26]
Pada tahun 1929 M, pemerintah menggariskan langkah kedua yang lebih jauh dari langkah pertama dan lebih banyak titik-titik persesuainannya dengan mengeluarkan UU No. 25 tahun 1929 M yang berisikan sebagian hukum-hukum tentang hukum-hukum keluarga yang berbeda dengan madzhab Hanafi dan seluruh madzhab imam yang empat, tetapi tidak keluar dari madzhab-madzhab ima yang lain. Pada tahun 1936 M, pemerintah menggariskan langkah ketiga dan membentuk lembaga yang beranggotakan ulama-ulama besar dari ahli agama danahli hukum positif untuk membuat UU yang mengatur berbagai hukum keluarga serta cabang-cabangnya, undang-undang wakaf, undang-undang warisan, wasiat dan lain-lainnya yang termasuk wewenang Mahkamah Syari;iyah (Pengadilan Agama) dan Majlis Hasbiyah (Badan Pengawas urusan-urusan tertentu).
Semua itu dilakukan dengan syarat tidak terikat oleh salah satu madzhab dari madzhab lain, tetapi mengambil dari berbagai pendapat para ahli fiqh yang lebih banyak persesuaiannya dengan kemaslahatan umat manusia serta perkembangan sosial. Lembaga tersebut mampu menyelesaikan tugasnya dalam menyusun rancangan undang-undang warisan, undang-undang wasiat, undang-undang wakaf. Dan pemerintah menetapkan undang-undang tersebut menjadi undang-undang Negara yang berlaku sekarang. [27]




PENUTUP

              Periode perkembangan hukum Islam (tasyri’ Islam) diawali dengan fase pendirian dan pembentukan Hukum syariat Islam yakni masa pertama masa kerasulan. Masa kerasulan atau masa hidup Rasulullah dapat disebut juga sbagai fase kelahiran dan pembentukan hukum syariat Islam.
              Masa yang kedua yakni Masa Khulafaur Rasyidin dan Amawiyin. Dimulai dari wafatnya Rasul pada tahun 11 Hijrah dan diakhiri pada pertengahan abad ke 2 Hijrah. Periode ini disebut periode sahabat, karena kekuasaan tasyri’ dalam periode ini, dipegang oleh para sahabat besar. Di antara mereka ada yang hidup sampai akhir  abad pertama hijrah, seperti Anas Ibn Malik (wafat tahun 93 H= 712 M).
              Masa Ketiga adalah masa Abbasiyah dan Mujtahidin Masa Pembukuan Fiqh. Pada masa ini terwujud pembukuan fiqh dan penyempurnaanya, sehingga dapat pula dinamakan dengan masa pembukuan fiqh. Masa ini dimulai dari pertengahan abad kedua hijrah sampai pertengahan abad keempat hijrah atau 250 tahun lamanya.
              Masa Keempat adalah masa Taqlid dan Jumud. Pada masa ini masa lesunya himmah para ulama untuk mencapai ijtihad mutlak dan kembali kepada dasar tasyri’ yang asasi untuk mengeluarkan hukum dari nash-nash al-Quran dan Sunnah dan mengistinbathkan hukum-hukum yang tidak ada nashnya dari suatu dalil syariat.
              Masa Kelima adalah gerakan Membangun Kembali Fiqh Islam. Pada pertengahan abad ke-18 M, timbullah reformasi dan melepaskan diri dai taqlid dalam tubuh ummat Islam. Usaha ini timbul karena kesadaran nasional, kaum muslimin mengetahui dan merasakan adanya kemunduran yang kemudian menimbulkan gerakan keagamaan diberbagai negeri Islam.




DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. Fiqih Dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.1996.

Khalaf, Abdul Wahhab. Perkembangan Sejarah Hukum Islam. Bandung: CV PUSTAKA. 2000.

Zuhri, Muh. Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.1996.

Al-Almawi, Taha Jabir,  Metodologi Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta: UII Press. 2001.
Hasan Khalil, Rasyad, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: AMZAH. 2009.
Hallaq, Wael B, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2000.
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang. 1995.
Hasbi, Muhammad, Pengantar Ilmu Fiqh 1, Jakarta: PT Bulan Bintang. 1967.
Hasbi, Muhammad, Pengantar Ilmu Fiqh 2, Semarang: PT Pustaka Rizky Putra. 1999.
Naim, Ngainum, Sejarah Pemikiran Hukum Islam: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Teras. 2009.
Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Jakarta: Departemenen Agama RI. 1986.





[1] Nazar Bakry, 1996, Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,hlm.70-71.
[2] Abdul Wahhab Khallaf, 2000, Perkembangan Sejarah Hukum Islam. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, hlm. 9.
[3] Muh Zuhri, 1996, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm.13.
[4] Abdul Wahhab Khallaf,.Ibid. Hlm.11.
[5] Rasyad Hasan Khalil, 2010, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: AMZAH, hlm.44
[6] Rasyad Hasan Khalil,. Ibid. Hlm.46.
[7] Abdul Wahhab Khallaf,.Ibid. Hlm.22.
[8] Abdul Wahhab Khallaf,.Ibid. Hlm. 31
[9] . Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Jakarta: Departemenen Agama RI. 1986.
[10] Abdul Wahhab Khallaf,.Ibid. Hlm.39
[11] . Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Jakarta: Departemenen Agama RI. 1986.

[12] Rasyad Hasan Khalil,.Ibid. Hlm. 62-63
[13] Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid. Hlm. 47
[14] Rasyad Hasan Khalil,.Ibid. Hlm. 71-72
[15] Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid. Hlm. 50
[16] Nazar Bakry,. Ibid. Hlm. 71-72
[17] Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid. Hlm. 68-69
[18] Nazar Bakry,. Ibid. Hlm. 72-73
[19] Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid. Hlm.72-78
[20] Nazar Bakry,. Ibid. Hlm.73
[21] Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid. Hlm.102-106
[22] Ngainun Naim, 2009, Sejarah Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: TERAS, hlm. 109
[23] Wael B Hallaq, 2000, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindPersada.hlm.45
[24] M. hasbi Ash shidieqiy,1967, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: PT Bulan Bintang, hlm.89
[25] Ahmad hanafi,1995, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam.jakarta: PT bulan bintang,hlm.127.
[26] Taha Jabir Al-Almawi, 2001, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, hlm 134
[27] Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid, hlm, 111-112

1 komentar:

  1. Strange "water hack" burns 2 lbs in your sleep

    Well over 160,000 women and men are using a simple and SECRET "liquids hack" to burn 2lbs every night in their sleep.

    It is effective and works with anybody.

    This is how you can do it yourself:

    1) Go get a drinking glass and fill it up with water half the way

    2) Proceed to learn this awesome HACK

    and you'll become 2lbs lighter in the morning!

    BalasHapus