PERKEMBANGAN
ILMU FIQIH
KLASIK
SAMPAI KONTEMPORER
A.
Periode
Rasulullah
Pertumbuhan ilmu
fiqih di masa Rasulullah berdasarkan wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, melalui malaikat jibril dengancara yang berangsur-angsur yang
dimulai dari Mekkah dan diakhiri di Madinah. Kalau belum turun ayat al-Qur’an
mengenai suatu maslah, maka Nabi mengadakan ijtihad beliau sesuai dengan ayat
al-Qur’an yang diturunkan kemudian.berarti ijitihad Rasul dan Sunnahnya tidak
ada yang berlawanan dengan wahyu Allah. Disamping nabi sendiri adalah sebagai
sumber hukum, sebab segala sesuatu yang dilakukan Nabi adalah contoh yang baik
bagi umatnya.[1]
Periode ini
berlangsung tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan saja. Walaupun demikian
periode ini membawa pengaruh-pengaruh yang besar dan penting sekali karena
mampu menghasilkan beberapa ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah serta
berbagai dasar pokok tasyri’ yang menyeluruh. Dengan demikin periode Nabi ini
mewariskan dasar pembentukan undang-undang yang sempurna.[2]
Periode kenabian dibagi dua yaitu periode Mekkah sebagai periode awal dan
periode madinah sebagai periode akhir. Periode Mekkah dikenal sebagai periode
penanaman akidah dan akhlak. Ayat al-Qur’an yang turun dalam periode ini tidak
menyinggung hukum seperti hukum keluarga, hukum waris, hukum pidana. Sedangkan
periode Madinah dikenal sebagai periode penataan dan pemapanan sebagai
masyarakat percontohan. Karenanya diperiode inilah ayat-ayat yang memuat
hukum-hukum untuk keperluan tersebut turun, baik yang berbicara tentang ritual
maupun sosial. Dengan demikian penekanan periode Mekah adalah perbuatan rohani
(jiwa dan akal yang menjelma menjadi keimanan dan akhlak) sedangkan periode
Madinah adalah perbuatan ragawi. Kalau ibdah shalat itu diwajibkan di periode Mekkah,
karena ibarat sebuah bangunan, shalat adalah fondasi keimanan.[3]
1.
Kekuasaan Fiqih Pada Rasulullah
Sumber
kekuasaan pada masa ini hanya dipegang oleh Rasulullah dan tak seorangpun dari
umat Islam selain beliau dibolehkan menentukan hukum yang berkenaan dengan
suatu peristiwa, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Maka tak
seorangpun dari mereka yang berani berfatwa dengan hasil ijtihadnya sendiri
dalam suatu peristiwa atau menjatuhkan vonis terhadap suatu persengkataan yang
terjadi.
Bahkan
kalau para sahabat menghadapi suatu peristiwa, terjadi persengkataan, suatu
pertanyaan, atau permintaan fatwa mereka langsung mengembalikan
persoalan-persoalan itu kepada Rasulullah SAW. Beliau lah yang selanjutnya
memberi fatwa mereka dengan berlandaskan ayat al-Qur’an yang diwahyukan Allah
kepada beliau atau dengan menggunakan hasil ijtihad beliau yang berpedoman
kepada ilham dari Allah, berpedoman pada petunjuk akal, analisis, serta
penetapan beliau. Setiap hukum yang keluar dari pribadi beliau itu menjadi tasyri’ bagi umat Islam dan merupakan
undang-undang yang wajib diikuti. Oleh karena itu pada periode Rasul tidak ada
dua pendapat dalam suatu peristiwa dan tidak ada seorang sahabat pun yang
memberi fatwa atau berijtihad pada waktu itu.[4]
2.
Sumber Fiqih Pada Masa Rasulullah
Penentuan
hukum pada masa Rasulullah terdiri atas dua macam sumber, yaitu:
a. Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan sumber pertama
dan utama bagi perundang undangan Islam, ia meliputi semua ajaran pokok dan
semua kaidah yang harus ada dalam pembuatan undang-undang
peraturan.Perundang-undangan lain datang secara global, tidak terperinci dan
hanya skeptis kecuali dalam beberapa masalah yang memang membawa kemaslahatan
yang tetap dan tidak berubah oleh zaman dan tempat seperti hukum warisan, hukum
keluarga secara umum dan selain diatas semuanya bersifat umum dan kaidah global
yang bisa di praktikan ketika manusia menghadapi satu permasalahan dalam
kehidupan mereka agar terasa mudah dan supaya perundang-undangan itu sendiri
sesuai dengan setiap keadaan dan perubahan.[5]
b.
As-Sunnah an-Nabawiyah. As-Sunnah an-Nabawiyah adalah setiap yang keluar dari
Rasulullah berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan selain dari al-Qur’an. As-Sunnah
menempati urutan kedua setelah al-Qur’an karena ia menjadi penguat, penjelas,
penafsiran, penambahan terhadap hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Karena
Rasulullah SAW sebagai pengatur segala urusan kaum muslimin selain sebagai
seorang nabi yang mendapat perintah untuk menyampaikan syariat Allah kepada
seluruh manusia, maka beliau juga mendapat mandat untuk menjelaskan syariat
secara umum yang akan mengatur kehidupan umat pada setiap waktu dan tempat.[6]
Kesemuanya itu mendaptkan pengawasan dan pemeliharaan dari Allah SWT, sehingga
kalau beliau benar maka Allah akan menetapkannya. Dan kalau beliau salah maka
Allah akan mengembalikan dan menuntunya pada arah yang benar. Oleh sebab itu
tak ada alasan untuk membeda-bedakan antara hukum hasil ijtihad Nabi yang bukan
berasal dari Ilham Allah sssaqdengan hasil hukum ijtihad Nabi yang timbul dari
ilham Allah melainkan kalau Allah mengembalikan Rasul-Nya pada arah yang benar.
Maka barulah bisa diketahui bahwa hal itu pun datangnya dari Allah juga, lalu
Nabi menerangkannya.[7]
3.
Garis Perundang-undangan Pada Masa
Rasulullah
Yang
dimaksud dengan garis perundang-undangan (khittah tasryi’iyah) ialah metode
yang ditempuh oleh pemuka-pemuka tasyri’ untuk mengembalikan permasalahan pada
sumber-sumber tasryi’ yang mereka pelihara. Karena periode ini merupakan
periode pembentukan hukum dan peletakan dasar-dasar perundang-undangan, maka
garis perundang-undangan dalam periode ini adalah berupa pola dasar untuk
pembentukan undang-undang Islam. Adapun metode yang ditempuh oleh Rasulullah
SAW dilakukan dengan beberapa tahap. Kalau timbul suatu masalah yang
membutuhkan suatu ketentuan hukum, beliau menantikan wahyu Allah. Kalau wahyu
tidak datang kepadanya, maka beliau berpendapat bahwa Allah mewakilkan atau
menyerahkan penentuan hukum atas peristiwa yang di hadapinya itu kepada ijtihad
beliau sendiri. Lalu beliau pun berijtihad dengan mengambil petunjuk dari
undang-undang Allah, atau menurut jiwa tasyri’ ketetapan atas dasar
kemaslahatan bagi manusia, dan dengan permusyawaratan sahabat.
4.
Pengaruh Perundang-undangan Periode Nabi
Ayat-ayat
dan hadits inilah yang merupakan pengaruh-pengaruh hukum yang ditinggalkan oleh
periode ini, dan ini pula yang menjadi dasar undang-undang bagi umat Islam dan
tempat kembali bagi para mujtahid di dalam setiap waktunya. Kalau terjadi
peristiwa yang ketentuan hukumnya sudah pasti, maka tidak ada tempat berijtihad
bagi mujtahid manapun dan di masa apapun. Tetapi kalau tidak ada nas yang pasti
yang menunujukan hukum kejadian tersebut, para mujtahid perlu untuk melakukan
ijtihad.
Dalam
ijtihadnya para mujtahid harus berjalan di atas pancaran nas yang pasti, dengan
cara mengambil mengambil persamaan illat pada
kejadian baru itu dengan sesuatu yang sudah ada nasnya, atau dengan mengambil
jiwa nas itu, atau dari ma’qulnya
atau dari prinsip-prinsipnya yang umum. Hasil ijtihad tersebut tidak boleh
bertentangan dengan nas atau keluar dari prinsip-prinsip umum.[8]
B.
Periode
Sahabat
Masa ini
merupakan masa kedua dalam perkembangan tasyri’ Islam, mulai wafatnya
Rasulullah sampai wafatnya Ali RA (11H-40H/632M-661M) yaitu mulai khalifah Abu Bakar,
Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.[9]
1. Kekuasaan
Perundang-undangan Pada Masa Sahabat
Para
ulama dari kalangan sahabat menunaikan kewajibannya dengan cara menerangkan
atau menyebarluaskan kedudukan-kedudukan nas dan memberi fatwa hukum terhadap
hal-hal yang tidak ada nasnya. Mereka bertindak selaku pemuka atau pemegang
kekuasaan perundang-undangan dalam periode ini dan mereka pulalah yang
menggantikan Rasul dalam memecahkan persoalan dalam umat Islam. Mereka
memperoleh hak tasryi’ bukan karena ditunjuk dan diangkat oleh khalifah atau
dipilih oleh rakyat, melainkan karena keistimewaan atau kecakapan pribadi yang
mereka miliki. Mereka cukup lama bergaul dengan Nabi dan menghafal al-Qur’an
serta as-Sunnah dari Nabi. Mereka menyaksikan dan mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat, dan mengetahui sebab-sebab datangnya as-Sunnah, bahkan banyak
dari kalangan mereka merupakan anggota dewan pertimbangan bagi Nabi dalam
melakukan ijtihadnya. Fakta-fakta inilah yang menyebabkan mereka sanggup mengomentari
nas-nasnya. Mereka sanggup menjadi tumpuan-tumpuan kembali umat Islam dan umat
pun mempercayai komentar maupun fatwa mereka.[10]
Dan diantara para mufti dari kalangan sahabat yaitu:
a.
Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada masanya
disebut masa penetapan tiang-tiang (daa’im). Dizamannya diperangi orang-orang
yang murtad, mutanabi, dan pembangkang penyerahan zakat. Di masanya pula di
kumpulkan al-Qur’an pada satu mushaf.
b.
Umar bin Khatab. Pada masanya menyusun
administrasi pemerintahan dan menetapkan pajak, kharaj atas tanah subur yang
dimiliki orang nonmuslim. Umar menetapkan peradilan dan perkantoran, serta
kalender penanggalan.Umar dikenal sebagai imamul mujtahidin. Dimasanya beliau
berijtihad antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan karena
tidak ada illat untuk memotongnya dan tidak memberikan zakat kepada al-muallafatu quluubuhum karena tiada
illah untuk memberikanya.
c.
Utsman bin Affan. Pada zamannya telah
diperintah Zaid Ibn Tsabit dan Abdullah Ibn Zubair. Sa’iid Ibn al-Ash dan
Abdurrahman bin Harits untuk mengumpulkan al-Qur’an dengan qiraah (dialek) yang
satu dengan mushaf satu macam pula pada tahun 30H./650M.
d.
Ali bin Abi Thalib. Ali adalah sepupu
Nabi Muhammad SAW. Ali bin Abi Thalib terkenal dengan kemahirannya sebagai
qadli, sejak zaman Nabi Muhammad SAW.[11]
2. Sumber
Perundang-undangan Pada Masa Sahabat
a.
Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafal dan maknanya. Para
sahabat sama sekali tidak pernah mendahului al-Qur’an karena ia adalah sumber
dari segala sumber bagi pembentukan akidah Islam, akhlak yang mulia, dan
hukum-hukum amal perbuatan termasuk juga bahasa.
b.
As-Sunnah. Meneliti dalam sunnah
Rasulullah jika tidak ada nas dalam kitab Allah.jika mereka menemukan nas dalam
kitab Allah atau Sunnah yang menunjukan hukumnya, merekapun berhenti disini dan
mencari hukumnya, berusaha memahami kandungannya. Terkadang mereka sepakat dan
terkadang berbeda pendapat disebabkan oleh pemakaian bahasa yang berbeda atau
karena kondisi periwayatan.
c.
Ijma’ (konsensus bersama). Jika tidak
ada dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah atau ditemukan namun bersifat
global, atau nasnya banyak dan setiap nas memberi hukum yang berbeda, atau khabar ahad. Dan diantara manhaj mereka
pada waktu ini adalah khalifah mengundang para sahabat untuk melakukan
konsensus. Jika mereka sepakat, masalah kemudian dibahas dan saling tukar
menukar pendapat, dan jika rapat menyetujui satu pendapat maka itulah yang akan
mereka putuskan dan menjadi sebuah hukum yang pasti dan mengikat.
d.
Ra’yi (logika), Setiap hukum yang
ditetapkan bukan berdasarkan petunjuk nas termasuk qiyas, istihsan, mashalih mursalah, bara’ah adz-dzimmah, dan sadd-dzari’ah.[12]
3. Garis
Perundang-undangan Pada Masa Sahabat
Garis
perundang-undangan pada masa ini adalah bakat hukum. Bakat hukum ini terbentuk
sebab mereka telah berdialog dengan Rasulullah, dan mereka menyaksikan Nabi
menetapkan hukum serta prinsip-prinsip hukumn yang umum. Oleh karena itu mereka
kadang-kadang menetapkan hukum berdasarkan kehendak kemaslahatan, atau menolak
kemudharatan. Dengan demikian lapangan ijtihad mereka terhadap peristiwa yang
tidak ada nasnya itu luas sekali, dan ijtihad itu menampung segala kebutuhan
hidup manusia serta segala kemaslahatan umat manusia.[13]
Perbedaan
yang terjadi di antara para sahabat dalam maslah hukum syariat bukan disebabkan
oleh hawa nafsu pribadi atau karena intrik pribadi. Namun karena membahas
urusan agama berdasarkan ilmu dan ijtihad yang ditopang oleh dalil sehingga
tida ada celah bagi mereka karena semuanya kembali kepada faktor yang memang
tidak dapat di hindari, dan mereka tidak ada kemampuan untuk memenuhi semuanya.
Ada beberapa alasan timbulnya perbedaan itu ialah:
a. Zhanni
ad-dalalah. Maksudnya adalah dalil yang memiliki makna lebih dari satu,
sebagaimana firman Allah SWT:”
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri tiga kali quru’. (QS.
Al-Baqarah:228). Lafal quru’ memilik arti musytarak
(multi) antara makna bersih dan haidh. Maka dari sini mereka berbeda pendapat
tentang masa menunggu (Iddah) wanita
yang diceraikan suaminya apakah tiga kali bersih atau tiga kali haidh. Terkadang
zhanni ad-dalalah terjadi karena
faktor wurud ( datangnya dalil)
sebagaimana kasus hadits ahad. Jika
sebuah hadits datang dengan cara ahad
(satu perawi dalam satiap tingkatan perawi), karena betapapun adil dan tsiqahnya seseorang namun kemungkinan
terjadinya kesalahan atau lupa secara logika bisa saja terjadi. Oleh karena itu
mereka berbeda pendapat dalam pemakaian hadits ahad.
b. Sunnah
belum dibukukan. Pada waktu itu belum dibukukan dan belum ada kesatuan pendapat
untuk menghimpunnya dalam satuan koleksi dan menyebarluaskannya di kalangan
umat Islam sebagai pedoman mereka bersama., bahkan as-Sunnah nmasih
berpindah-pindah jalan riwayat dan hafalannya. Karena kondisi inilah akhirnya para
sahabat berbeda pendapat karena sebagian berijtihad untuk sampai kepada hukum
suatu maslah tertentu sedangkan ia berada di Irak misalnya, padahal bagi
sebagian sahabat hadisnyapun belum diketahui semua oleh penduduk Madinah. Oleh
karena itu kita dapati sebagian sahabat menarik kembali fatwanya setelah ia
belum mengetahuinya.[14]
c. Lingkungan
hidup (millieu). Tempat mereka
tinggal tidak sama. Serta kemaslahatan dan kebutuhan-kebutuhan yang mereka atur
pun berbeda bertingkat-tingkat pula.
Apabila terjadi perbedaan lingkungan hidup maka berbeda juga
pandangan-pandangan dalam menilai suatu kepentingan serta motif-motif
diundangkannya hukum.[15]
C.
Periode
Tadwin (Pembukuan)
Masa ini disebut
juga masa ijtihad (masa Mujtahid dan Imam Mazhab) dan munculnya imam-imam Mujtahid.
Periode ini dimulai pada awal abad kedua hijriah dan berakhir pada pertengahan
abad keempat hijriah. Dinamai periode pembukuan sebab gerakan atau usaha
penulisan dan pembukuan terhadap hukum Islam mengalami perkembangan pesat. Di
periode ini dibukukan as-Sunnah, fatwa-fatwa para mufti dari kalangan sahabat,
tabiin, tabi’-tabi’in, komentar secara mendalam tentang tafsir al-Qur’an, fiqih
para Imam mujtahid dan karangan-karangannya.
Pada saat ini adalah zaman kemajuan dibidang
hukum Islam. Ini disebabkan banyaknya masalah-masalah hukum yang harus
diselesaikan, yang terjadi pada beberapa daerah Islam yang telah menjadi luas
itu.
Para
tabiin-tabiin di masa ini banyak yang berijtihad, sehingga mereka menjadi
mujtahid-mujtahid besar dalam Islam. Semuanya menjadi sebab bagi tumbuhnya
suatu golongan ahli dalam ilmu Islam, yang kemudian terkenal dengan sebutan
faqih yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan Islam.[16]
1.
Pemegang Kekuasaan Periode Tadwin
Segolongan
tabi’in yang mempelajari al-Qur’an dan segolongan tabiin juga meriwayatkan
as-Sunnah dari mereka, menghafal bermacam-macam fatwa mereka, memahami
rahasia-rahasia mereka, dan mengikuti jalan-jalan pengambilan hukum dari
mereka. Diantara para tabi’in tersebut ada yang meminta fatwa dan ada yang memberi
fatwa pada masa sahabat.
Sesudah
tokoh-tokoh perundang-undangan dari kalangan sahabat, pemegang peranan dalam
mengembangkan hukum Islam dilanjutkan oleh murid-murid mereka dari kalangan
tabi’in. kemudian tabi’in dilanjutkan oleh murid-murid mereka dari kalangan
tabi’it tabi’in. kemudian tabi’it tabi’in dilanjutkan oleh murid-murid mereka
dari para Imam-imam mujtahid empat dan rekan-rekannya.[17]
Diantara mujtahid-mujtahid yang terkenal adalah:
a. Imam
Abu Hanifah, seorang alim keturunan Persia lahir di Basrah tahun 80 H (699 M)
bekerja di Kufah dan meninggal tahun 150 H (767 M). Abu Hanifah terkenal
sebagai Ahli Al Ra’yu. Yaitu banyak
mendasarkan pendapatnya kepada ujian pikiran, karena di Basrah kurang mendapat
hadits shahih.
b. Imam
Malik ibn Anas, lahir di madinah tahun 93 H (713 M) dan meninggal tahun 179 H
(795 H). Imam Malik terkenal sebagai ahli hadits. Karena di Madinah hadits nabi
banyak dikumpulkan pada ahli hadits. Disamping al-Qur’an, hadits beliau ambil
sebagai dasar fiqihnya. Buku hadits yang terkenal ialah “Muwaththa”. Akhirnya
mendirikan mazhab Maliki. Pengikutnya tersebar di seluruh daerah Islam bagian
barat seperti di Maroko, Aljazair, Tunis, Tripoli, Spanyol, Mesir, dan Afrika
Tengah.
c. Imam
Muhammad ibn Idris al-Syafi’ie. Beliau dilahirkan di Palestina tahun 150 H (767
M) dan meninggal tahun 204 H (802 M) di Mesir. Ia di besarkan dan belajar di
Mekah dan di Madinah pernah belajar dari Imam Malik. Beliau adalah pendiri
mazhab Imam Syafi’ie, terkenal yang besar jasanya, terutama bukunya yang terkenal
sampai sekarang ialah Al-Um. Buku ini
sebagai dasar dari ilmu yang dikembangkannya yang bernama “Ushul Fiqih”.
d. Imam
Ahmad ibn Hambali, lahir di Baghdad tahun 164 H (776 M) dan meninggal tahun 241
H (885 M). ia terkenal sebagai ahli hadits. Bukunya yang terkenal “ Musnad
Ahmad ibn Hambal” yang berisi hampir 30.000 hadits. Di samping itu ada lagi
mazhab Syi’ah yang mempunyai Fiqh tersendiri pula. Imam-Imam besar itulah yang
telah menciptakan Fiqh masing-masing yang masih ditaati penganut islam sampai
sekarang.[18]
2.
Sumber Perundang-Undangan Periode
Tadwin.
a. Al-Qur’an
b. As-Sunnah
c. Al-Ijma
d. Ijtihad
dengan jalan qiyas atau ijtihad menggunakan jalan lain dari jalan-jalan
istinbat (mengambil hukum). Seorang mufti, kalau menemui nas dari al-Qur’an
atau as-Sunnah yang menunjukan hukum yang dimintakan fatwa hukumnya, dia tentu
berpegan pada nas tersebut, dan tidak akan melampaui hukumnya. Kalau tidak
menemui nasnya, tetapi dia mengetahui ulama salafnya dari para mujtahid yang
sudah berijma mengenai ketentuan hukumnya, maka hukum berdasarkan ijma salaf
tersebut. Apabila dia tidak mendapatkan nas tentang peristiwa hukum tersebut,
dan tidak pula mendapatkan ijma ulama tentang hukum yang di maksud, barulah ia
berijtihad dan beristinbat dengan jalan istinbat yang sudah ditunjukanoleh
Syar’i.
3.
Garis Perundang-undangan Periode Tadwin
Pada
awal periode ini, yaitu sewaktu kekuasaan perundang-undangan berada di tangan
angkatan tabi’in dan tabi’in besar, garis perundang-undangan mereka mengikuti
garis dari guru-guru besar mereka dari kalangan sahabat dalam mengembalikan
semua persoalan kepada sumber-sumber perundang-undangan dan memperhatikan
prinsip-prinsip umum dalam perundang-undangan Islam.[19]
D.
Periode
Taklid
Periode taklid
lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan periode
ijtihad atau periode tadwin. Mula-mula masa kemunduran dalam bidang-bidang
kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau fiqih
Islam.[20]
Mereka tidak lagi mendatangi al-Qur’an dan as-Sunnah, bahkan mereka merelakan
dirinya untuk bertaklid dan merasa puas dengan fiqihnya imam mujtahidin yang
dahulu, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’ie, dan Ahmad. Mereka mempersempit akal
pikiran mereka dilingkungn terbatas tentang cabang-cabang hukum mazhab.
Dengan demikian,
terhentilah pembentukan hukum itu terbats pada apa yang disampaikan para imam
mujtahid periode terdahulu, tidak memperhatikan perjalanan yang terjadi,
tentang perkembangan masyarakat, kemajuan muamalah, urusan peradilan, dan
kejadian-kejadian yang baru.
1.
Sebab Terhentinya Gerakan Ijtihad
a. Terbagi-baginya
Daulah Islamiyah kedalam sejumlah kerajaan-kerajaan yang para rajanya,
penguasanya, dan rakyatnya yang saling bermusuhan.
b. Menjadi
beberapa golongan dan masing-masing golongan memiliki suatu aliran hukum
sendiri, dan juga akibat pengaruh kelompok dan pedomannya, maka setia murid
dari tiap-tiap aliran atau anggota setiap golongan menitikberatkan perhatiannya
untuk membela dan memenangkan mazhabnya masing-masing dan memperkuat ushul
fiqih serta cabang-cabangnya dengan berbagai jalan.
c. Krisis
pembentukan hukum dan ijtihad. Orang yang tidak memiliki keahlian berijtihad
berani mendakwahkan ijtihad. Muncullah keberanian menyampaikan fatwa kepada
umat islam oleh orang-orang bodoh yang mempermainkan nas-nas syariah.
d. Tersebar
luas di kalangan para ulama berbagai penyakit moral yang menghalangi mereka
dari ketinggian derajat ijtihad. Di kalangan mereka sudah merata penyakit
saling menghasud dan egoisme.
2.
Kesungguhan Ulama dalam Pembentukan
Hukum Pada Periode Taklid
a. Tingkat
Pertama: Ahli Ijtihad dalam Mazhab
b. Tingkat
kedua: mujtahid dalam beberapa maslah yang tidak ada riwayat dari imam
mazhabnya
c. Tingkat
ketiga: Ahlut Takhrij
d. Tingkat
keempat: Ahlut tarjih
e. Tingkat
kelima: Ahli taklid semata-mata[21]
E.
Periode
Kebangkitan Kembali Fiqih Islam
Setelah
mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para
pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitakan kembali Islam, termasuk di
dalamnya pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi
terhadap sikap taklid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan.
Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.
Alasan yang
sering mereka kemukakan adalah bahwa Islam, sejak konsepsinya, berkembang dalam
serangkaian kesejarahan dalam menghadapi dan menjawab tantangan intelektual dan
spiritual. Kenyataan yang sama juga dihadapi oleh Islam dalam abad ke 12 H dan
lebih khusus lagi abad ke 13 H. fase ini merupakan fase meluasnya pengaruh
barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang
kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual
melalaui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan
intensitasnya.[22]
1.
Sistem mempelajari fiqh di masa modern
Kenyataan
yang sangat nampak dari kebangunan fiqih islam di masa ini, ialah
mempelajarinya secara ilmiyah dan universiter. Inilah yang telah menghasilkan
faedah yang besar. Didalam universitas bertemulah para sarjana hukum umum dan
para sarjana fiqih Islam. Dengan demikian hasillah suatu perbandingan hukum.[23]
Adanya
studi-studi tinggi dalam bidang syari’ah merupakan usaha yang mempunyai nilai
yang telah diberikan untuk perekmabngan fiqih islam. Karena itu sisitem yang
dipakai dalam mempelajari Ilmu fiqih sialah secara perbandingan (fiqih
Muqaran).[24]
2.
Tokoh-Tokoh Pembaharu
Pada
abad ke 14 telah muncul mujtahid besar yang menghembuskan angin segar dalam
pemikiran keagamaan, yaitu Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim
Al-jauziyah (1292-1356). Poal pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17 oleh
muhammad bin Abdul Wahhab ( 17073-1787) yang dikenal dengan gerakan Wahabi.
Kemudian dilanjutkan oleh jamaludin al-Afghani (1839-1897) yang merupakan sosok
pembaharu besar dalam dunia Islam.[25]
Pada
akhir abad 13 H, Pemerintah Utsmaniyah mengumpulkan sekelompok ulama besar dan
menugaskan mereka untuk menyusun undang-undang dalam bidangmu’amalah madaniyah
(hukum perdata) yang bersumberkan fiqh Islam, meskipun tidak berasal dari
madzhab-madzhab hukum yang terkenal, dengan syarat hukum yang diambil sejalan
dengan semangat kemajuan. Kemudian bersepakat untuk menyusun undanng-undang
yang dinamai Majallatul Ahkam Al-Adiyyah (majalah hukum-hukum keadilan) pada
tahun 1286 H dan pelaksanaannya mulai direalisasikan pada tahun 1292 H. Mereka
mengambil hukum jual beli dengan syarat dari madzhab Ibnu Syubramah. Dan ini
merupakan penyimpangan pertama dari garis taqlid murni madzhab empat. Pada saat
itu Mesir banyak terjadi pengaduan dan keluhan tentang keharusan hukum menurut
madzhab Hanafi dalam hukum-hukum Mahkamah Syari’iyah, maka pemerintah pada
tahun 1920 M menggariskan langkah pertama untuk menanggapi pengaduan-pengaduan
tersebut, dengan mengeluarkan UU no.25 tahun 1920 yang berisikan sebagian hukum
tentang hukum-hukum keluarga (Al-Ahwal Asy-Syahsyiyyah) yang berbeda dengan mazdhab
Hanafi, tetapi tidak keluar dari madzhab empat.[26]
Pada
tahun 1929 M, pemerintah menggariskan langkah kedua yang lebih jauh dari
langkah pertama dan lebih banyak titik-titik persesuainannya dengan
mengeluarkan UU No. 25 tahun 1929 M yang berisikan sebagian hukum-hukum tentang
hukum-hukum keluarga yang berbeda dengan madzhab Hanafi dan seluruh madzhab
imam yang empat, tetapi tidak keluar dari madzhab-madzhab ima yang lain. Pada
tahun 1936 M, pemerintah menggariskan langkah ketiga dan membentuk lembaga yang
beranggotakan ulama-ulama besar dari ahli agama danahli hukum positif untuk
membuat UU yang mengatur berbagai hukum keluarga serta cabang-cabangnya,
undang-undang wakaf, undang-undang warisan, wasiat dan lain-lainnya yang
termasuk wewenang Mahkamah Syari;iyah (Pengadilan Agama) dan Majlis Hasbiyah
(Badan Pengawas urusan-urusan tertentu).
Semua
itu dilakukan dengan syarat tidak terikat oleh salah satu madzhab dari madzhab
lain, tetapi mengambil dari berbagai pendapat para ahli fiqh yang lebih banyak
persesuaiannya dengan kemaslahatan umat manusia serta perkembangan sosial.
Lembaga tersebut mampu menyelesaikan tugasnya dalam menyusun rancangan
undang-undang warisan, undang-undang wasiat, undang-undang wakaf. Dan
pemerintah menetapkan undang-undang tersebut menjadi undang-undang Negara yang
berlaku sekarang. [27]
PENUTUP
Periode perkembangan
hukum Islam (tasyri’ Islam) diawali dengan fase pendirian dan pembentukan Hukum
syariat Islam yakni masa pertama masa kerasulan. Masa kerasulan atau masa hidup
Rasulullah dapat disebut juga sbagai fase kelahiran dan pembentukan hukum
syariat Islam.
Masa yang kedua yakni Masa
Khulafaur Rasyidin dan Amawiyin. Dimulai dari wafatnya Rasul pada tahun 11
Hijrah dan diakhiri pada pertengahan abad ke 2 Hijrah. Periode ini disebut
periode sahabat, karena kekuasaan tasyri’ dalam periode ini, dipegang oleh para
sahabat besar. Di antara mereka ada yang hidup sampai akhir abad pertama hijrah, seperti Anas Ibn Malik
(wafat tahun 93 H= 712 M).
Masa Ketiga adalah masa Abbasiyah
dan Mujtahidin Masa Pembukuan Fiqh. Pada masa ini terwujud pembukuan
fiqh dan penyempurnaanya, sehingga dapat pula dinamakan dengan masa
pembukuan fiqh. Masa ini dimulai dari pertengahan abad kedua hijrah sampai
pertengahan abad keempat hijrah atau 250 tahun lamanya.
Masa Keempat adalah masa Taqlid
dan Jumud. Pada masa ini masa lesunya himmah para ulama untuk mencapai ijtihad
mutlak dan kembali kepada dasar tasyri’ yang asasi untuk mengeluarkan hukum
dari nash-nash al-Quran dan Sunnah dan mengistinbathkan hukum-hukum yang tidak
ada nashnya dari suatu dalil syariat.
Masa Kelima adalah gerakan
Membangun Kembali Fiqh Islam. Pada pertengahan abad ke-18 M, timbullah
reformasi dan melepaskan diri dai taqlid dalam tubuh ummat Islam. Usaha
ini timbul karena kesadaran nasional, kaum muslimin mengetahui dan merasakan
adanya kemunduran yang kemudian menimbulkan gerakan keagamaan diberbagai negeri
Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakry, Nazar. Fiqih
Dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.1996.
Khalaf, Abdul Wahhab. Perkembangan Sejarah Hukum Islam. Bandung: CV PUSTAKA. 2000.
Zuhri, Muh. Hukum
Islam Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.1996.
Al-Almawi,
Taha Jabir, Metodologi Hukum Islam
Kontemporer, Yogyakarta: UII Press. 2001.
Hasan
Khalil, Rasyad, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: AMZAH.
2009.
Hallaq, Wael
B, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2000.
Hanafi,
Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang.
1995.
Hasbi, Muhammad, Pengantar Ilmu Fiqh 1,
Jakarta: PT Bulan Bintang. 1967.
Hasbi,
Muhammad, Pengantar Ilmu Fiqh 2, Semarang: PT Pustaka Rizky Putra. 1999.
Naim,
Ngainum, Sejarah Pemikiran Hukum Islam: Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
Teras. 2009.
Direktorat
Jendral Pembinaan Agama Islam, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam,
Jakarta: Departemenen Agama RI. 1986.
[1]
Nazar Bakry, 1996, Fiqih dan Ushul Fiqih,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,hlm.70-71.
[2]
Abdul Wahhab Khallaf, 2000, Perkembangan
Sejarah Hukum Islam. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, hlm. 9.
[3]
Muh Zuhri, 1996, Hukum Islam dalam
Lintasan Sejarah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm.13.
[4]
Abdul Wahhab Khallaf,.Ibid. Hlm.11.
[5]
Rasyad Hasan Khalil, 2010, Tarikh Tasyri’
Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: AMZAH, hlm.44
[6]
Rasyad Hasan Khalil,. Ibid. Hlm.46.
[7]
Abdul Wahhab Khallaf,.Ibid. Hlm.22.
[8]
Abdul Wahhab Khallaf,.Ibid. Hlm. 31
[9]
. Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam, Perkembangan
Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Jakarta: Departemenen Agama RI. 1986.
[10]
Abdul Wahhab Khallaf,.Ibid. Hlm.39
[11]
. Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam, Perkembangan
Ilmu Fiqh di Dunia Islam, Jakarta: Departemenen Agama RI. 1986.
[12]
Rasyad Hasan Khalil,.Ibid. Hlm. 62-63
[13]
Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid. Hlm. 47
[14]
Rasyad Hasan Khalil,.Ibid. Hlm. 71-72
[15]
Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid. Hlm. 50
[16]
Nazar Bakry,. Ibid. Hlm. 71-72
[17]
Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid. Hlm.
68-69
[18]
Nazar Bakry,. Ibid. Hlm. 72-73
[19]
Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid. Hlm.72-78
[20]
Nazar Bakry,. Ibid. Hlm.73
[21]
Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid. Hlm.102-106
[22]
Ngainun Naim, 2009, Sejarah Pemikiran
Hukum Islam, Yogyakarta: TERAS, hlm. 109
[24]
M. hasbi Ash shidieqiy,1967, Pengantar
Ilmu Fiqih, Jakarta: PT Bulan Bintang, hlm.89
[25]
Ahmad hanafi,1995, Pengantar Dan Sejarah
Hukum Islam.jakarta: PT bulan bintang,hlm.127.
[27]
Abdul Wahhab Khallaf,. Ibid, hlm,
111-112
Strange "water hack" burns 2 lbs in your sleep
BalasHapusWell over 160,000 women and men are using a simple and SECRET "liquids hack" to burn 2lbs every night in their sleep.
It is effective and works with anybody.
This is how you can do it yourself:
1) Go get a drinking glass and fill it up with water half the way
2) Proceed to learn this awesome HACK
and you'll become 2lbs lighter in the morning!